"Tapi bagaimana denganmu?" tanya Elziva tiba-tiba. "Siapa yang menjaga kamu?"
Kinan terdiam. Pertanyaannya menggantung di udara, tanpa jawaban. Dan meskipun ia tidak berkata apa-apa, Elziva tahu bahwa di balik semua ketegasan dan sikap dinginnya, ada seseorang yang juga terluka, sama seperti mereka yang ia coba lindungi.
Pagi itu, sebuah ledakan mengguncang kamp pengungsian. Orang-orang berteriak, berlarian mencari perlindungan. Elziva, yang sedang memeriksa pasien, hampir terjatuh karena getaran keras itu.
"Dokter, keluar dari sini sekarang!" suara Kinan memerintah, penuh urgensi.
Namun, Elziva menggeleng. "Saya tidak bisa meninggalkan mereka!"
Kinan mengumpat pelan, lalu tanpa peringatan mengangkat tubuh Elziva, membawanya keluar dari klinik. Begitu mereka mencapai tempat yang lebih aman, ia menurunkannya dengan kasar.
"Kamu gila?" bentaknya, suaranya penuh kemarahan yang tertahan. "Kalau kamu mati, siapa yang akan merawat mereka?"
Elziva menatapnya, terkejut oleh intensitas emosinya. Namun, di balik kemarahan itu, ia melihat sesuatu yang lain—ketakutan.
"Kapten," jawabnya pelan, mencoba menenangkan. "Saya tidak bisa meninggalkan mereka. Itu tugas saya."
Kinan menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya. "Tugas kita adalah bertahan, Dokter. Itu yang terpenting."
Meskipun nada bicaranya masih dingin, Elziva tahu bahwa di balik kata-katanya ada kekhawatiran yang tulus.