Hari-hari berlalu, dan Elziva mulai terbiasa dengan keberadaan Kinan. Meski pembawaannya kaku dan dingin, ia selalu hadir ketika dibutuhkan. Bahkan ketika Elziva sedang merawat luka-luka yang mengerikan, ia tahu bahwa pria itu ada di dekatnya, siap membantu tanpa perlu diminta.
Namun, Elziva tak bisa mengabaikan jarak yang selalu ia ciptakan. Meskipun mereka bekerja sama hampir sepanjang waktu, Kinan jarang berbicara lebih dari yang diperlukan. Seolah-olah ia membangun dinding yang tidak bisa ditembus, bahkan oleh dirinya sendiri.
Suatu malam, ketika klinik mulai sepi, Elziva menemukan Kinan duduk sendirian di luar. Ia menatap langit gelap tanpa bintang, ekspresinya sulit ditebak. Elziva mendekat perlahan, membawa dua cangkir teh hangat.
"Teh?" tawarnya singkat.
Kinan menoleh, lalu mengangguk kecil. Ia menerima cangkir itu tanpa bicara, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka.
"Kamu tidak harus selalu begadang seperti ini, Kapten," ujar Elziva akhirnya, mencoba memecah kesunyian.
Kinan mendesah pelan, matanya tetap terpaku pada kegelapan di atas mereka. "Saya tidak bisa tidur dengan tenang, Dokter. Terlalu banyak yang mati di tempat seperti ini. Jika saya bisa mencegah satu saja, maka begadang bukan masalah."
Elziva terdiam. Kata-katanya sederhana, tapi berat. Ia tahu apa yang dimaksud Kinan—rasa bersalah yang membebani mereka yang bertahan, perasaan tak berdaya yang selalu menghantui.
"Kita semua melakukan yang terbaik," kata Elziva pelan. "Tapi kadang, rasanya seperti tidak pernah cukup."
Kinan akhirnya menoleh, tatapannya tajam namun penuh kejujuran. "Apa yang kamu lakukan sudah lebih dari cukup, Dokter. Orang-orang ini hidup karena kamu."
Elziva menatapnya, terkejut oleh kelembutan dalam nada bicaranya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari pria ini—sisi yang tak ingin ia tunjukkan kepada siapa pun.