Mohon tunggu...
ella ning
ella ning Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA NEGERI 3 BREBES

Seorang gadis yang suka membaca, menulis, mendengarkan musik dan juga berimajinasi. Si pemimpi yang ingin jadi menteri Luar Negeri dan selalu punya keinginan untuk jalan-jalan ke Edinburgh.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Persahabatan Dua Generasi

1 Desember 2024   20:25 Diperbarui: 2 Desember 2024   09:45 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah kompleks perumahan yang tenang, Athena selalu menjadi pusat perhatian. Dengan rambut terurai dan langkah ringan, ia seperti sinar matahari yang tak pernah padam. Semua orang mengenalnya sebagai gadis ceria yang selalu menyapa tetangga, tersenyum pada kucing liar, dan bahkan mengobrol dengan pohon mangga di depan rumahnya.

Jarvish, tetangganya yang tinggal dua rumah di sebelah kanan, adalah kebalikannya. Cowok itu baru masuk semester tiga di jurusan teknik dan dikenal dengan kepribadiannya yang tenang dan pendiam. Jika Athena adalah suara, maka Jarvish adalah keheningan. Meski begitu, mereka seperti potongan puzzle yang saling melengkapi.

Athena sering main ke rumah Jarvish, duduk di ruang tamu sambil bercerita panjang lebar tentang hari-harinya. Jarvish, seperti biasa, hanya mendengarkan sambil menyeruput teh hangat.

"Jar, kamu tahu nggak tadi di sekolah aku dapet nilai seratus di sosiologi!" seru Athena sambil mengacungkan tangan dengan penuh semangat.

Jarvish hanya melirik dari buku yang sedang dibacanya. "Keren. Tapi bukannya itu udah biasa buat kamu?"

Athena tertawa kecil, menyadari Jarvish tidak pernah benar-benar memberi reaksi besar. Tapi di situlah letak kenyamanannya. Ia tahu, Jarvish selalu mendengarkan.

"Aku rasa kalau bukan kamu yang ngedengerin cerita-ceritaku, aku bakal meledak, deh," ujar Athena, duduk bersila di karpet.

"Jangan lebay." Jarvish meletakkan bukunya, menatap Athena dengan sedikit senyum di sudut bibir.

Momen seperti ini sering terjadi. Athena mengoceh tanpa henti, dan Jarvish mendengarkan dengan sabar. Meski begitu, ada kalanya Jarvish mendapati dirinya gemas dengan kelakuan Athena yang seperti anak kecil.

"Jar! Lihat ini!" Athena tiba-tiba berdiri, memegang boneka kecil yang baru saja ia beli dari pasar malam. "Lucu banget, kan? Aku kasih nama si Kuro. Dia bakal nemenin aku belajar!"

Jarvish mengangkat alis, menahan tawa. "Athena, kamu SMA atau TK?"

Athena memukul pelan lengan Jarvish. "Hush! Jangan ngeledek! Boneka itu bikin aku semangat belajar, tahu."

Jarvish menggeleng pelan, tapi ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Di balik sifatnya yang kalem, Jarvish diam-diam menikmati sisi kekanak-kanakan Athena.

***

Suatu sore, hujan turun dengan deras. Athena berlari ke rumah Jarvish sambil membawa payung kecil bergambar kartun.

"Jar! Aku ketinggalan buku biologi di rumah, boleh aku pinjam payungmu buat balik sebentar?" Athena mengetuk pintu sambil menggigil.

Jarvish membukakan pintu, memandang Athena yang basah kuyup. "Bukannya payung kamu udah cukup?" tanyanya sambil memiringkan kepala.

"Aduh, payungku kecil banget. Aku nggak mau buku-bukunya basah," jawab Athena sambil memamerkan senyum canggung.

Jarvish menghela napas, lalu mengambil jaketnya. "Tunggu di sini. Aku antar kamu."

Athena melongo. "Hah? Kamu serius?"

"Daripada kamu kena flu gara-gara kehujanan, iya, aku serius."

Mereka berjalan berdua di bawah hujan, Athena menggenggam payung kecilnya sementara Jarvish memegang payung besar yang cukup untuk menutupi mereka berdua. Sepanjang perjalanan, Athena terus bercerita tentang hal-hal kecil---tentang hujan, tentang rencana lomba di sekolah, dan bahkan tentang mimpi lucunya semalam.

Jarvish hanya menanggapi dengan gumaman, tapi diam-diam ia menikmati suara ceria Athena yang mengisi keheningan hujan.

Sesampainya di rumah Athena, ia tersenyum lebar sambil berkata, "Jar, kamu kayak kakak cowok yang nggak pernah aku punya, tahu."

Jarvish hanya tersenyum kecil. Baginya, Athena memang seperti adik kecil yang harus dijaga, meskipun ia sering gemas dengan tingkahnya.

***

Namun, tidak selamanya dunia mereka hanya dipenuhi canda dan tawa.

Suatu malam, Athena mengetuk pintu rumah Jarvish dengan wajah murung. Ia membawa buku catatan yang sudah penuh coretan.

"Ada apa?" tanya Jarvish, menggeser tubuhnya agar Athena bisa masuk.

"Aku gagal di lomba debat hari ini," jawab Athena lirih.

Jarvish menutup pintu dan menuntun Athena duduk di sofa. "Gagal gimana?"

"Aku nggak bisa jawab pertanyaan dari juri. Padahal aku udah latihan keras. Rasanya aku kayak... nggak cukup pintar," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Jarvish terdiam sejenak, memandang Athena yang jarang sekali menunjukkan sisi lemahnya.

"Kamu tahu, Athena?" Jarvish akhirnya berbicara. "Menurutku, kamu salah satu orang paling positif dan keras kepala yang aku kenal. Kalau kamu gagal, itu bukan akhir. Itu cuma bagian dari perjalanan."

Athena mengangkat kepala, menatap Jarvish. "Kamu serius?"

Jarvish mengangguk. "Kalau aku di posisimu, aku nggak yakin aku bisa sekuat kamu. Jadi, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri."

Athena tersenyum tipis. Kata-kata Jarvish selalu punya cara untuk membuatnya merasa lebih baik.

***

Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka tetap seperti dulu---dekat, tapi tidak pernah lebih dari sekadar sahabat. Athena mulai menyadari bahwa kehadiran Jarvish dalam hidupnya adalah sesuatu yang tak tergantikan. Sementara Jarvish, meskipun sering terlihat acuh, tahu bahwa Athena adalah bagian penting dalam dunianya.

Pada suatu malam, mereka duduk di teras rumah Jarvish, memandangi bintang.

"Jar, kamu pernah nggak sih kepikiran pindah dari sini?" tanya Athena tiba-tiba.

"Pernah," jawab Jarvish singkat.

Athena menoleh, matanya melebar. "Hah? Serius? Terus aku gimana?"

Jarvish tertawa kecil. "Aku belum pindah, kan? Lagipula, aku nggak mungkin ninggalin tetangga ribut kayak kamu tanpa alasan yang jelas."

Athena memukul lengannya, tapi kali ini ia tidak bisa menyembunyikan rasa lega di hatinya.

Malam itu, mereka berbicara tentang mimpi-mimpi mereka. Athena bercerita tentang keinginannya menjadi dokter, sementara Jarvish berbagi tentang impiannya menjadi insinyur.

"Kalau suatu saat aku sukses, aku janji bakal bikin kamu bangga," kata Athena dengan penuh keyakinan.

Jarvish mengangguk pelan. "Dan aku bakal jadi orang pertama yang bilang, 'Aku tahu kamu bisa.'"

Di bawah langit malam itu, mereka menyadari satu hal: meskipun berbeda, mereka selalu saling melengkapi. Dan dalam persahabatan mereka, ada kehangatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Mungkin, itu yang disebut rumah.

***

Ella Ning, gadis yang suka menghabiskan seluruh waktunya untuk berpikir dan menulis di perpustakaan sekolah, SMA NEGERI 3 BREBES. Sosok yang juga menyukai sastra dan berlogika ketika menulis. Pertama kali menulis ketika berada di bangku SMP kelas 7. Berkeinginan untuk bertemu Jeon Wonwoo, member dari boygroup SEVENTEEN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun