Mereka berjalan berdua di bawah hujan, Athena menggenggam payung kecilnya sementara Jarvish memegang payung besar yang cukup untuk menutupi mereka berdua. Sepanjang perjalanan, Athena terus bercerita tentang hal-hal kecil---tentang hujan, tentang rencana lomba di sekolah, dan bahkan tentang mimpi lucunya semalam.
Jarvish hanya menanggapi dengan gumaman, tapi diam-diam ia menikmati suara ceria Athena yang mengisi keheningan hujan.
Sesampainya di rumah Athena, ia tersenyum lebar sambil berkata, "Jar, kamu kayak kakak cowok yang nggak pernah aku punya, tahu."
Jarvish hanya tersenyum kecil. Baginya, Athena memang seperti adik kecil yang harus dijaga, meskipun ia sering gemas dengan tingkahnya.
***
Namun, tidak selamanya dunia mereka hanya dipenuhi canda dan tawa.
Suatu malam, Athena mengetuk pintu rumah Jarvish dengan wajah murung. Ia membawa buku catatan yang sudah penuh coretan.
"Ada apa?" tanya Jarvish, menggeser tubuhnya agar Athena bisa masuk.
"Aku gagal di lomba debat hari ini," jawab Athena lirih.
Jarvish menutup pintu dan menuntun Athena duduk di sofa. "Gagal gimana?"
"Aku nggak bisa jawab pertanyaan dari juri. Padahal aku udah latihan keras. Rasanya aku kayak... nggak cukup pintar," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.