Sebenarnya tulisan ini sudah lama saya catat namun tak pernah saya rampungkan karena beberapa alasan yang tidak bisa saya sebutkan.Dulu awal tahun 2017,saat itu pengajian secara daring belum begitu marak seperti sekarang,dimana muncullah Gus Ulil yang pada bulan ramadhan tahun itu memulai mengkaji secara daring dan topik bahasan kala itu adalah kitab Ihya’ Ulumuddin karya monumental Imam Ghozali.Secara pribadi saya adalah salah satu pengagum beliau dalam hal pembaharuan pemikiran islam yang tetap berpegang pada nash-nash yang ada dan ditunjang dengan kemampuan akal dalam bernalar dan berpikir.
Dalam beberapa kali kesempatan ada hal yang menjadi fokusan saya dalam menyimak kajian beliau,yaitu bagaimana kata ganti gender digunakan untuk menyebutkan konsep-konsep dasar dalam pembahasan mengenai qalb dan ruh. Dalam menggunakan kata ‘ruh’, misalnya, Imam Ghazali menggunakan kata ganti maskulin dan feminine.
Maskulin, ketika yang dimaksud adalah lafal ruh, dan feminine ketika menyebutkan soal esensinya. Sebagai orang yang tidak memahami bahasa Arab nyaris sama sekali, gramatikal Arab (dan bahasa-bahasa semitik yang mengenal gender serta jumlah (quantity)) aspek gender dalam pembahasan tasawuf memang sangat memikat, fascinating.Hal ini mengingatkan saya kepada salah satu buku penting dari Annemarie Schimmel – sarjana kelahiran Erfurt, Jerman, yang mendalami mistisisme (tasawuf) Islam – Jiwaku Adalah Wanita: Aspek Feminin Dalam Spiritualisme Islam, Mizan: 1998.
Jiwaku Adalah Wanita
Kembali ke aspek gender dalam mistisisme, relasi antar gender barangkali memang “ditakdirkan” untuk selalu pelik dan bahkan penuh curiga. Memang tak mungkin ditolak, bahwa kuasa memang hadir dalam setiap relasi yang paling egaliter sekalipun. Banyak kaum feminis menisbatkan sebagian ketimpangan gender ini pada tafsir teks-teks suci agama-agama. Kenyataan bahwa sebagian besar mufassir terkenal dan berpengaruh adalah laki-laki tak pelak memperuncing prasangka maskulinitas agama.
Tapi berbeda dari kecurigaan kaum feminis terhadap agama, beberapa sarjana justru melihat bahwa dualisme maskulin-feminin ini mendapatkan penyelesaiannya dari agama sendiri, terutama dari aspek mistisisme (tasawuf) agama. Di antara sarjana kontemporer yang memberikan perhatian pada aspek feminin Tuhan adalah Annemarie Schimmel, guru besar Universitas Harvard dalam bidang tasawuf Islam, yang lahir pada 7 April 1922.
Schimmel adalah salah seorang sarjana terkemuka yang menghabiskan lebih dari lima puluh tahun dari usianya untuk menerangkan Islam kepada Barat. Schimmel berayahkan seorang pegawai pos dan telegraf di Jerman bagian tengah yang memiliki kecenderungan yang besar terhadap mistisisme agama, sejak awal masa kesarjanaannya sudah mendedikasikan dirinya untuk mempelajari aspek esoterik dalam Islam.
Ia menjelajahi negeri-negeri Islam terutama Turki, Pakistan dan India untuk memahami kaum muslim dan Islam, serta pesan-pesan tasawuf dalam karya-karya Maulana Jalaluddin Rumi, Shah Abdul Latif Bhattai, Lal Shah Baz Qalander, Sachal Sarmast, Rahman Baba, Khushal Khan Khattak, Baba Farid, Allama Iqbal dan beberapa penyair sufi. Karya-karya Annemarie dianggap menjembatani agama dan budaya yang secara serampangan dipilah menjadi, dan akhirnya memisahkan apa yang dianggap Timur dan Barat.
Penelusurannya yang ekstensif terhadap karya-karya kesarjanaan dalam bidang tasawuf di berbagai penjuru menyampaikan Schimmel pada bukti-bukti bahwa personifikasi jiwa dalam agama mengambil sosok seorang perempuan. Seringkali bahkan sosok perempuan yang mengalami kesedihan karena kerinduan yang nyaris tak tertanggungkan terhadap Sang Kekasih.
Gambaran yang diperoleh Schimmel ini agaknya sangat dipengaruhi mistikus besar Islam Jalaluddin Rumi – yang karya-karyanya mendapatkan perhatian besar dari Schimmel – yang pernah menggambarkan kerinduan yang dialami manusia terhadap Sang Maha Misteri sebagai kerinduan seorang perempuan yang tengah mengandung terhadap janinnya, yang kian dalam seiring dengan berjalannya waktu.
Perempuan dalam Tradisi Agama-agama