WHAT
Korupsi merupakan salah satu masalah utama yang menggerogoti berbagai aspek kehidupan di banyak negara, termasuk Indonesia. Fenomena ini telah menjadi momok yang merusak tatanan pemerintahan, ekonomi, dan sosial, serta menciptakan ketidakadilan yang berdampak luas bagi masyarakat.Â
Korupsi bukan hanya tindakan ilegal yang menguntungkan individu atau kelompok tertentu dengan cara yang tidak sah, tetapi juga sebuah mekanisme yang merusak prinsip dasar keadilan, transparansi, dan akuntabilitas yang seharusnya menjadi landasan bagi sebuah negara yang demokratis dan sejahtera.
Di Indonesia, korupsi telah menjadi isu yang sangat serius sejak era Orde Baru dan terus berlanjut hingga kini. Walaupun sudah banyak upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi, seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penegakan hukum yang lebih ketat, namun praktek korupsi tetap merajalela.
 Kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi, anggota parlemen, dan sektor swasta sering kali terungkap, namun banyak dari pelakunya masih bisa lolos dari jerat hukum atau hanya mendapat hukuman ringan. Kondisi ini menimbulkan skeptisisme dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum.
Jack Bologna adalah seorang ahli dalam bidang hukum dan kebijakan publik yang dikenal karena kontribusinya dalam mengembangkan teori-teori terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi.Â
Meskipun informasi yang lebih rinci mengenai biografi dan latar belakang pribadi Jack Bologna tidak banyak dipublikasikan secara luas, pendekatannya dalam menganalisis penyebab korupsi telah mempengaruhi banyak kajian dalam bidang ini, khususnya dalam konteks kelembagaan dan struktural yang memungkinkan terjadinya korupsi.Â
Pendekatan Jack Bologna terhadap korupsi lebih banyak berfokus pada analisis faktor-faktor yang mendasari terjadinya korupsi dalam sistem pemerintahan dan organisasi.Â
Dalam teorinya, ia berpendapat bahwa korupsi bukan hanya hasil dari perilaku individu yang menyimpang, tetapi juga dipengaruhi oleh struktur kelembagaan yang ada di dalam suatu negara atau organisasi, serta sistem pengawasan yang lemah.
Teori Jack Bologna berpengaruh dalam memahami korupsi sebagai masalah yang kompleks, yang tidak hanya bisa diselesaikan dengan hukuman terhadap individu yang terlibat. Teori ini mengusulkan pentingnya adanya reformasi pada tingkat kelembagaan, penguatan pengawasan, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan.
Dalam konteks ini, Bologna menyarankan agar setiap lembaga atau negara mengembangkan sistem yang memungkinkan transparansi yang lebih baik, kontrol yang lebih kuat terhadap pengelolaan anggaran, serta peningkatan kesadaran akan pentingnya integritas di semua level pemerintahan dan sektor publik.
Meskipun Jack Bologna mungkin tidak dikenal secara luas dalam ranah publik, kontribusinya dalam bidang studi korupsi memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang penyebab sistemik dari praktik korupsi.Â
Dengan fokus pada faktor kelembagaan, pengawasan, dan kesempatan, teori Bologna memberikan pandangan yang lebih komprehensif tentang bagaimana korupsi berkembang dalam organisasi dan pemerintahan, serta langkah-langkah yang perlu diambil untuk menanggulanginya.
WHY
Menurut Jack Bologna, seseorang dapat terlibat dalam kecurangan atau korupsi apabila dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu keserakahan (Greed), kesempatan (Opportunity), kebutuhan (Need), dan pengungkapan (Exposure).Â
Konsep ini dikenal sebagai GONE Theory, yang pertama kali dikembangkan oleh Bologna pada tahun 1993. Teori ini menjelaskan bagaimana faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan berkontribusi terhadap kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan kecurangan.
Keserakahan merujuk pada dorongan individu untuk memperoleh lebih banyak kekayaan atau keuntungan tanpa mempertimbangkan cara yang sah. Kesempatan berkaitan dengan adanya celah atau kelemahan dalam sistem yang memungkinkan seseorang untuk menyalahgunakan kekuasaan atau akses yang dimiliki.Â
Kebutuhan mengacu pada situasi di mana individu merasa terdesak atau tidak memiliki alternatif lain selain melakukan kecurangan, baik karena alasan ekonomi atau sosial. Terakhir, pengungkapan merujuk pada kondisi di mana seseorang merasa bahwa tindakannya akan terungkap atau diawasi, yang dapat membatasi atau justru memperburuk dorongan untuk berbuat salah.
Teori GONE menunjukkan bahwa korupsi atau kecurangan bukan hanya terjadi karena faktor moral pribadi, tetapi lebih karena interaksi antara motivasi individu dan struktur sistem yang ada.
 Faktor-faktor ini memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai alasan dibalik perilaku koruptif, yang pada gilirannya dapat membantu dalam merancang kebijakan dan strategi pencegahan yang lebih efektif dalam menghadapi masalah korupsi.
Bologna mengembangkan teori GONE untuk menjelaskan mengapa korupsi terjadi dalam sebuah sistem atau organisasi, dan mengapa individu-individu dalam sistem tersebut dapat melakukan korupsi. Teori ini memberikan perspektif yang lebih luas, yang melihat korupsi bukan hanya sebagai masalah moral individu, tetapi sebagai hasil interaksi antara faktor pribadi, kelembagaan, dan sosial yang lebih besar.
GreedÂ
Konsep greed atau keserakahan dalam teori GONE merujuk pada dorongan kuat dalam diri individu untuk memperoleh lebih banyak kekayaan atau keuntungan dari apa yang mereka miliki atau bisa akses. Dalam konteks korupsi, ini adalah motivasi utama bagi banyak orang untuk terlibat dalam perilaku ilegal atau tidak etis.
Keserakahan dapat muncul ketika individu merasa bahwa mereka berhak atas kekayaan atau sumber daya tertentu, atau ketika mereka merasa bahwa kekuasaan yang mereka miliki memberi mereka kesempatan untuk mengeksploitasi orang lain atau sistem untuk keuntungan pribadi.
Keserakahan ini sering kali bersifat materialistis, di mana individu ingin memperoleh uang, barang, atau kekuasaan tanpa memedulikan cara yang sah untuk mendapatkannya.Â
Dalam kasus korupsi pemerintah, ini bisa terlihat dalam bentuk pejabat publik yang menyalahgunakan wewenang mereka untuk mengalihkan anggaran negara, mendapatkan suap dari kontraktor, atau memanipulasi sistem pengadaan untuk keuntungan pribadi.Â
Motivasi keserakahan ini berakar dari keinginan untuk memiliki lebih banyak, baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarganya. Tidak jarang, hal ini didorong oleh kebutuhan untuk menjaga status sosial atau hidup mewah yang lebih tinggi.
Namun, greed tidak selalu datang dari sifat dasar individu yang jahat, melainkan juga seringkali dikondisikan oleh struktur sosial dan politik di sekitar individu tersebut.
 Dalam banyak kasus, keserakahan ini dapat meningkat ketika seseorang melihat orang lain yang berhasil memperoleh kekayaan dengan cara-cara yang tidak transparan atau ilegal, dan mereka merasa tertarik untuk mengikuti jejak tersebut.Â
Dalam hal ini, keserakahan bisa menjadi produk dari contoh yang buruk atau pengaruh lingkungan yang memperbolehkan perilaku korupsi berkembang.
OpportunitiesÂ
Peluang, atau opportunities, adalah elemen penting dalam teori GONE yang menjelaskan mengapa korupsi sering terjadi.Â
Teori ini berargumen bahwa meskipun seseorang mungkin memiliki dorongan atau motivasi untuk berbuat jahat, mereka tidak akan dapat melakukannya jika tidak ada kesempatan yang memungkinkan untuk melakukannya.Â
Dengan kata lain, bahkan jika seseorang sangat serakah atau memiliki dorongan untuk melakukan korupsi, mereka hanya akan melakukannya jika mereka merasa ada ruang atau celah dalam sistem yang memungkinkan mereka untuk tidak tertangkap atau dihukum.
Peluang untuk melakukan korupsi sangat dipengaruhi oleh struktur kelembagaan dan kebijakan yang ada.Â
Dalam sistem pemerintahan atau organisasi yang tidak transparan, yang memiliki mekanisme pengawasan yang lemah atau bahkan tidak ada sama sekali, individu-individu yang memiliki akses atau wewenang atas sumber daya akan lebih mudah menyalahgunakan posisi mereka.Â
Ini bisa terjadi dalam banyak bentuk, mulai dari manipulasi tender proyek, penyalahgunaan anggaran, hingga penerimaan suap dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Salah satu faktor yang memungkinkan adanya peluang untuk korupsi adalah kurangnya pengawasan yang efektif, baik dari dalam maupun dari luar organisasi.Â
Dalam banyak kasus, korupsi terjadi karena adanya celah dalam pengaturan yang ada, seperti ketidakjelasan prosedur, lemahnya pelaporan keuangan, atau sistem yang mengizinkan keputusan-keputusan besar dibuat tanpa pemeriksaan yang memadai.Â
Di sinilah peluang bagi individu yang berwenang untuk mengeksploitasi kelemahan sistem tersebut dan mengambil keuntungan pribadi tanpa takut tertangkap.
NeedÂ
Need atau kebutuhan mengacu pada keadaan di mana individu merasa terdesak atau terpaksa untuk melakukan tindakan yang tidak etis atau ilegal, seperti korupsi. Kebutuhan ini bisa bersifat ekonomi, sosial, atau bahkan psikologis.Â
Di satu sisi, orang yang terlibat dalam korupsi mungkin melakukannya karena mereka merasa kebutuhan mendesak untuk mendapatkan uang atau sumber daya yang tidak mereka miliki melalui cara yang sah.Â
Dalam beberapa situasi, individu dengan gaji yang rendah atau yang menghadapi kesulitan keuangan mungkin merasa bahwa satu-satunya cara untuk bertahan hidup atau memenuhi kebutuhan dasar mereka adalah dengan menyalahgunakan posisi mereka.
Di sisi lain, kebutuhan juga bisa lebih bersifat psikologis, di mana individu merasa bahwa mereka membutuhkan lebih banyak untuk mencapai status sosial tertentu atau untuk memenuhi harapan hidup yang lebih tinggi.Â
Dalam masyarakat di mana standar hidup tinggi dan perbedaan kelas sosial sangat mencolok, individu yang tidak memiliki akses ke sumber daya atau yang berada di bawah tekanan untuk mempertahankan gaya hidup tertentu bisa merasa terpaksa untuk melakukan tindakan korupsi.Â
Need dalam konteks ini bisa mencakup kebutuhan untuk memperoleh uang dengan cepat, memenuhi tuntutan pribadi, atau memenuhi ekspektasi keluarga atau masyarakat.
Korupsi juga bisa terjadi ketika seseorang merasa kebutuhan mereka tidak pernah cukup dipenuhi oleh sistem ekonomi yang ada. Misalnya, dalam sistem yang memperlakukan pejabat publik atau birokrat dengan gaji yang tidak memadai, mereka bisa merasa bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan lebih dari anggaran negara atau dari proyek-proyek yang mereka kelola.
ExposureÂ
Exposure atau pengungkapan adalah faktor terakhir dalam teori GONE yang menggambarkan sejauh mana tindakan kecurangan atau korupsi yang dilakukan oleh seseorang akan terungkap atau diketahui oleh pihak luar. Exposure berkaitan dengan sejauh mana individu menyadari bahwa ada kemungkinan besar tindakan mereka akan terdeteksi dan membawa akibat hukum atau sosial yang signifikan.Â
Jika seseorang merasa bahwa tindakan mereka akan cepat terungkap, mereka akan lebih berhati-hati dan cenderung menghindari melakukan kecurangan. Sebaliknya, jika mereka merasa tidak ada risiko besar untuk pengungkapan atau hukuman, mereka lebih cenderung untuk melanjutkan tindakan curang.
Exposure dalam konteks ini berhubungan langsung dengan pengawasan yang ada dalam sistem. Jika suatu organisasi atau sistem memiliki pengawasan yang kuat dan transparansi yang tinggi, maka potensi pengungkapan akan semakin besar.Â
Sistem audit yang independen, pengawasan eksternal yang ketat, serta kebijakan pelaporan yang memadai adalah beberapa faktor yang dapat meningkatkan exposure terhadap tindakan kecurangan.Â
Dengan demikian, exposure dapat berfungsi sebagai penghalang atau pencegah yang efektif terhadap tindakan korupsi atau kecurangan, karena individu yang terlibat dalam praktik semacam itu tahu bahwa mereka akan mudah terdeteksi.
Selain itu, exposure juga melibatkan pengaruh sosial. Dalam banyak masyarakat, rasa malu atau ketakutan akan kehilangan reputasi sosial dapat menjadi faktor yang cukup signifikan dalam mencegah perilaku korup atau curang.Â
Sebagai contoh, jika seorang individu terlibat dalam tindak pidana korupsi dan informasi tersebut terungkap ke publik, mereka tidak hanya menghadapi risiko hukum, tetapi juga kemungkinan kehilangan pekerjaan, reputasi, dan status sosial mereka.Â
Dalam konteks ini, exposure dapat menciptakan efek pencegahan yang kuat, yang mengurangi insentif untuk melakukan kecurangan.
Teori GONE memberikan penjelasan yang lebih menyeluruh mengenai penyebab korupsi dan kecurangan.Â
Faktor Greed atau dorongan untuk memperoleh lebih banyak, Opportunity  atau adanya celah yang memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan, Need  yang mendorong individu untuk bertindak curang sebagai jalan keluar, dan Exposure yang berfungsi sebagai pencegah atau penghalang dalam bentuk pengawasan dan transparansi adalah komponen-komponen yang saling berinteraksi dalam membentuk perilaku korupsi.Â
Teori ini menunjukkan bahwa untuk mengurangi korupsi, kita perlu memperhatikan keempat faktor ini secara bersamaan---menangani keserakahan dengan menciptakan standar hidup yang lebih adil, mengurangi kesempatan melalui mekanisme pengawasan yang ketat, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat untuk mengurangi tekanan ekonomi, dan meningkatkan exposure melalui transparansi dan pengawasan sosial yang lebih baik.
HOW
Korupsi merupakan masalah serius yang melanda berbagai negara, termasuk Indonesia.Â
Berbagai kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat publik, perusahaan, dan bahkan lembaga negara menjadi sorotan publik. Salah satu kasus yang mencuri perhatian adalah Kasus Korupsi Proyek Hambalang, yang melibatkan sejumlah pejabat negara dan berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar.Â
Untuk menganalisis lebih dalam penyebab dari korupsi tersebut, pendekatan GONE Theory yang dikembangkan oleh Jack Bologna pada tahun 1993 dapat memberikan perspektif yang berguna. Teori GONE (Greed, Opportunity, Need, and Exposure) menyatakan bahwa tindakan kecurangan atau korupsi terjadi karena adanya interaksi antara empat faktor utama: keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan.Â
Dalam kasus Proyek Hambalang, kita dapat melihat bagaimana keempat faktor ini saling terkait dan berperan dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya korupsi besar.
Kasus Korupsi Proyek Hambalang
royek Hambalang adalah proyek pembangunan pusat pelatihan olahraga yang bertujuan untuk mempersiapkan Indonesia dalam menghadapi berbagai event internasional, termasuk ASEAN Games 2011 dan Olimpiade 2016. Proyek ini mulai dicanangkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan anggaran yang sangat besar, mencapai sekitar Rp 2,5 triliun.Â
Namun, proyek ini kemudian menjadi sorotan publik setelah munculnya dugaan penyalahgunaan anggaran dan korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat negara, termasuk Anas Urbaningrum yang merupakan Ketua Umum Partai Demokrat dan pejabat lainnya.
Kasus ini mencuat setelah penangkapan Anas Urbaningrum oleh KPK pada 2014, yang diduga menerima aliran dana ilegal dari proyek ini.Â
Selain itu, proyek Hambalang juga melibatkan berbagai perusahaan kontraktor yang turut berperan dalam pengelolaan proyek ini, dengan dugaan bahwa sebagian dari dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dialihkan untuk kepentingan pribadi pejabat yang terlibat.Â
Kasus ini menggambarkan bagaimana korupsi dapat terjadi dalam skala besar, dengan melibatkan berbagai aktor dan banyaknya uang yang berputar dalam proyek besar tersebut.
Penerapan Teori GONE pada Kasus Korupsi Proyek Hambalang :
- Greed (Keserakahan) Keserakahan menjadi salah satu faktor yang sangat jelas dalam kasus korupsi proyek Hambalang. Dalam konteks ini, para pejabat yang terlibat dalam pengelolaan proyek, seperti Anas Urbaningrum dan sejumlah kontraktor, memiliki keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi yang besar dari proyek tersebut.Â
- Proyek yang melibatkan anggaran sebesar Rp 2,5 triliun memberikan peluang besar bagi para pelaku untuk mengakses dana dalam jumlah besar. Anas Urbaningrum, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, diduga menerima suap dalam bentuk uang dan fasilitas mewah. Ia juga diduga mengarahkan pengusaha untuk mengalirkan dana proyek kepada partainya.Â
- Keserakahan ini bukan hanya terkait dengan akumulasi kekayaan pribadi, tetapi juga dengan kebutuhan untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaan politik yang dimilikinya. Kecenderungan untuk mengumpulkan kekayaan, demi kepentingan pribadi atau kelompok, merupakan ciri utama dari keserakahan yang terjadi dalam proyek Hambalang.Â
- Selain itu, kontraktor yang terlibat dalam proyek ini juga memperoleh keuntungan yang sangat besar dari pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan perencanaan semula. Mereka bisa saja memanipulasi biaya dan menggunakan pengaruh mereka untuk mengalihkan dana proyek ke tempat yang tidak seharusnya.
- Opportunity (Kesempatan) Kesempatan menjadi faktor yang sangat signifikan dalam terjadinya korupsi dalam proyek Hambalang. Dalam proyek yang melibatkan anggaran besar dan banyaknya pihak yang terlibat, terdapat banyak celah yang memungkinkan para pelaku untuk menyalahgunakan posisi mereka. Salah satu kesempatan besar yang ada adalah lemahnya sistem pengawasan dan kontrol terhadap alokasi anggaran.Â
- Ketiadaan transparansi dalam pengelolaan proyek memberikan ruang bagi para pejabat dan kontraktor untuk melakukan manipulasi anggaran dan proyek. Keberadaan proyek besar seperti Hambalang dengan anggaran yang begitu besar memberikan kesempatan yang besar bagi pejabat publik dan kontraktor untuk melakukan penyalahgunaan.Â
- Mereka tahu bahwa pengawasan yang ada tidak cukup kuat untuk mendeteksi setiap penyimpangan yang terjadi, dan dengan kekuasaan yang mereka miliki, mereka merasa dapat mengendalikan jalannya proyek tanpa khawatir akan terungkap. Selain itu, kesempatan ini diperbesar oleh kondisi politik Indonesia pada saat itu.Â
- Dengan adanya hubungan erat antara pejabat pemerintah dan pengusaha, serta kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran negara, kesempatan untuk melakukan korupsi semakin terbuka lebar. Sistem yang tidak cukup ketat dalam pengawasan proyek-proyek besar memberi ruang bagi pihak-pihak yang terlibat untuk memanipulasi anggaran dan mendiversifikasi dana ke pihak yang tidak berhak.
- Need (Kebutuhan) Faktor kebutuhan dalam konteks kasus Hambalang dapat dilihat dalam beberapa aspek. Bagi Anas Urbaningrum, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, kebutuhan untuk mempertahankan posisinya sebagai pemimpin partai dan mendapatkan dukungan politik dari berbagai pihak mungkin menjadi salah satu faktor yang mendorongnya untuk terlibat dalam korupsi. Dengan aliran dana yang berasal dari proyek Hambalang, ia bisa mendanai kampanye politik dan membangun kekuatan politiknya.Â
- Selain itu, kebutuhan ekonomi pribadi dari para kontraktor yang terlibat dalam proyek ini mungkin juga menjadi faktor pendorong mereka untuk melakukan manipulasi anggaran. Dengan adanya kesempatan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dari proyek tersebut, mereka merasa terpaksa untuk terlibat dalam praktik korupsi, meskipun hal itu melanggar hukum.Â
- Kebutuhan ini juga dapat dikaitkan dengan kebutuhan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam konteks persaingan politik dan bisnis yang semakin ketat. Dalam situasi di mana individu merasa tertekan oleh kebutuhan untuk mempertahankan posisi atau kekuasaan mereka, mereka cenderung mencari cara-cara yang tidak sah untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yang pada gilirannya memicu tindakan korupsi
- Exposure (Pengungkapan) Pengungkapan adalah faktor yang sangat relevan dalam menganalisis kasus korupsi proyek Hambalang. Dalam konteks ini, pengungkapan pada awalnya terhambat oleh sistem yang tidak transparan dan kurangnya pengawasan yang efektif terhadap proyek tersebut. Namun, akhirnya kasus ini terungkap berkat penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Â
- Ketika pengungkapan akhirnya terjadi, sejumlah pejabat dan pengusaha yang terlibat dalam proyek ini harus menghadapi sanksi hukum yang berat, termasuk penahanan dan peradilan. Meskipun pada awalnya para pelaku merasa bahwa tindakan mereka tidak akan terungkap, terutama dengan adanya sistem yang lemah dalam pengawasan dan adanya hubungan politik yang kuat antara pejabat dan pengusaha, pengungkapan akhirnya terjadi. Penyelidikan oleh KPK menunjukkan betapa pentingnya peran pengawasan eksternal dan transparansi dalam mengungkapkan tindakan korupsi.Â
- Ketika ada pihak luar yang memantau dan mengungkapkan penyimpangan, hal ini bisa menjadi penghalang bagi pelaku untuk melanjutkan tindakannya. Kasus ini juga menunjukkan pentingnya exposure dalam sistem politik dan sosial Indonesia. Meskipun banyak pihak yang mungkin merasa tindakan mereka tidak akan terungkap, namun seiring dengan perkembangan teknologi dan peran lembaga pengawasan seperti KPK, exposure dapat menjadi faktor pencegah yang efektif dalam mengurangi korupsi.
Penerapan GONE Theory pada Kasus Korupsi Proyek Hambalang memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana korupsi dapat terjadi dalam suatu proyek besar yang melibatkan anggaran negara. Keempat faktor utama dalam GONE Theory keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan berperan penting dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya korupsi di proyek Hambalang.Â
Keserakahan para pejabat dan pengusaha untuk memperoleh keuntungan pribadi, kesempatan yang tercipta karena lemahnya pengawasan, kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan dan memenuhi standar hidup, serta pengungkapan yang pada akhirnya terjadi berkat kerja keras KPK, semuanya saling berinteraksi dan menjelaskan mengapa proyek ini menjadi sarang korupsi.
Untuk mencegah terjadinya korupsi di masa depan, penting untuk memperkuat pengawasan, meningkatkan transparansi, dan memastikan bahwa setiap celah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi ditutup rapat. Selain itu, exposure atau pengungkapan menjadi kunci dalam mencegah dan menghentikan praktik-praktik korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
Daftar PustakaÂ
Komisi Pemberantasan Korupsi. "Laporan Tahunan KPK 2023". Jakarta: KPK, 2023.
Nandha Risky Putra, Korupsi di indonesia : Tantangan perubahan sosial, di akses pada tanggal 15 November 2024 Â https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/download/898/174/3114
Fitri Chusna Farisa, Korupsi Proyek Hambalang, hukuman dipangkas, kini bebas. Diakses pada tanggal 15 November 2024Â
https://search.app/LCJKq81e8DLjAUNa8
https://mh.uma.ac.id/teori-teori-penyebab-korupsi/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H