Mohon tunggu...
Elisabet Olimphia Selsyi
Elisabet Olimphia Selsyi Mohon Tunggu... Administrasi - well organized and visioner.

Beri aku sebuah media citizen jounalism, niscaya akan kuguncangkan jagat media. S.I.Kom UAJY.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Gerakan Lingkungan: Instrumen Inovatif Partisipasi Atas Nama Warga Negara

23 Mei 2016   08:15 Diperbarui: 23 Mei 2016   08:45 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selalu ada dua aspek yang beredar dari mulut ke mulut (word of mouth) mengenai ketidakpuasan hijau: protes selalu terfokus pada rencana kebijakan yang malah membebani lingkungan dan pada bagaimana cara pembuatan suatu kebijakan. Limbah hasil industri rumahan maupun manufaktur dianggap menimbulkan polusi lingkungan. Masyarakat dan ahli lingkungan banyak mengajukan keberatan akan kebijakan yang dibuat terutama karena ketiadaan partisipasi publik.

Konkritnya dapat kita lihat pada protes masyarakat pada masalah-masalah, seperti globalisasi, pembangunan hotel dan atau mall, pembangunan bandara, dan masih banyak lagi. Kebijakan seringkali dibuat tanpa musyawarah dengan warga sehingga hasilnya seringkali bersifat parsial dan sarat akan kepentingan tertentu. Ketika pertumbuhan pembangunan mall, hotel, bandara, perusahaan franchise semakin marak, masyarakat juga yang akan terdampak−mungkin dari limbah industri, air bersih semakin asat, perilaku konsumtif, dan lain sebagainya. Kalau sudah begini, izin pemerintah dinilai tidak berpihak pada masyarakat, namun justru mempersilakan sebebas-bebasnya para penanam modal berinvestasi membangun proyek.

           

Ketidakpuasan Hijau: Konten, Organisasi, dan EIA Belum Cukup

Ketidakpuasan hijau mengkritisi sistem kapitalis dan peran negara dalam ‘melanggengkan’ ketidakberimbangan porsi masyarakat dalam berpartisipasi. Permintaan masyarakat akan politisasi institusi, demokratisasi negara, dan kebebasan kelompok penekan dianggap sebagai argumen radikal yang dapat membangkitkan partisipasi dari segala lini. Tahun 1970 menjadi saksi sejarah terjadinya radikalisasi politik yang menuntun pada gejala pengurangan legitimasi lembaga-lembaga tradisional, seperti universitas, politik, gerakan serikat perdagangan, dsb. Gerakan kontra muncul untuk menantang struktur yang lebih partisipatoris, terutama partisipasi politik dari masyarakat dan kelompok sosial.

Masyarakat dalam negara demokratis sekarang semakin membiasakan diri pada hak untuk memilih, hak akan petisi, hak referendum dan hak sebagai partai yang tidak memihak, sebagai seorang warga negara, untuk mengatakan keberatan akan rencana pemerintah (Leroy & Tatenhove dalam Driessen & Glasbergen, 2002, hal. 164). Ini semua mewarnai proses pengimplementasian suatu kebijakan. Dalam prosesnya mungkin saja kelompok ‘nonpemerintah’ mencetuskan kebijakan baru yang dianggap lebih baik. Partisipasi sebenarnya tidak melulu berasal dari anggota suatu negara. Sejatinya, partisipasi menekankan pada sumbang sih berupa saran yang dapat membantu dalam penerapan kebijakan, sehingga partisipasi bisa berasal dari manapun.

Tuntutan akan partisipasi politik bervariasi dilihat dari derajat keradikalannya, seperti permintaan untuk membuat inovasi−baik dari segi konten maupun organisasi pada bentuk demokrasi perwakilan kala itu−dengan argumen demi menghasilkan kebijakan yang lebih  demokratis. Kesadaran tersebut muncul dalam rangka memberi resolusi terkait masalah lingkungan. Inovasi menekankan pada perombakan lembaga negara agar lebih membuka partisipasi bagi masyarakat.

Ini pernah terjadi di Indonesia pada sistem perwakilan (demokrasi representatif) melalui lembaga-lembaga negara, seperti DPR, DPD, dan MPR dalam pengambilan keputusan dan kelangsungan pemilu. Sistem seperti ini dianggap tidak terbuka sehingga memungkinkan praktik penyelewengan semakin masif dilakukan. Keputusan dihasilkan atas diskusi dan kompromi para elit politik, sedangkan masyarakat hanya menonton saja (baca: pasif). Ini semakin memperkokoh sekat pemisah antara negara dengan masyarakat. Indonesia sebagai negara demokratis tentunya perlu mempertimbangkan opini publik di masyarakat dalam membuat suatu kebijakan. Akhirnya, sistem perwakilan pun diganti menjadi sistem langsung.

             

Partisipasi Ditegakkan dan Dilembagakan

Konflik lingkungan terkait pencemaran air dan udara, terutama yang berasal dari industri, insiden lingkungan, pembentukan bisnis baru, perluasan atau pembangunan baru infrastruktur merupakan hal yang tak jarang kita jumpai. Menanggapi permasalahan lingkungan selalu ada dua aspek ketidakpuasan hijau; 1) protes dari kalangan masyarakat, warga setempat, dan kemunculan gerakan lingkungan, dan 2) muncul gerakan kontra yang selalu meremehkan dampak lingkungan (Driessen & Glasbergen, 2002, hal. 165). Kekecewaan muncul karena masalah berakhir dengan proses pengambilan keputusan yang tidak demokratis.

Dua aspek ketidakpuasan hijau tersebut menimbulkan kondisi-kondisi sebagai berikut. Pertama, komplain terhadap gerakan kontra yang selalu meremehkan dampak lingkungan muncul karena mereka menuntun pada perkembangan dan pelembagaan kebijakan lingkungan secara bertahap. Gerakan kontra yang gembar-gembor mengenai ketidakproblematisan masalah lingkungan memang berimplikasi pada meredanya kepanikan masyarakat. Ini seringkali berujung pada sikap acuh tak acuh, bukan penyelesaian masalah. Gerakan kontra saat ini bisa menjelma dalam bentuk institusi (Hoover Institution, dsb) sehingga dapat membangun kredibilitasnya dengan cepat.

Memang di sisi lain kemunculan gerakan semacam ini dapat melindungi dari kepentingan ekonomi politik. Struktur kelembagaan nasional dan tradisi budaya Indonesia memang membuat regulasi berupa pengetatan izin bagi penyelenggaraan kegiatan yang terbilang berbahaya, seperti bisnis. Yang ditakutkan adalah kerusakan, dan gangguan dari luar bisnis dan bahaya keselamatan dan kondisi kerja yang berasal dari dalam bisnis.

Kedua, menyoal mengenai cakupan dari istilah 'gangguan' yang mengalami perluasan. Kini gangguan bukan hanya potensi bahaya, kerusakan, dan gangguan bagi lingkungan sekitarnya, bagi manusia khususnya, namun juga pada kelangsungan hidup flora dan fauna. Potensi kerusakan lingkungan juga semakin dipertimbangkan. Penggunaan bahan baku dan energi juga dipertimbangkan ketika menilai aplikasi izin. Misalnya, pertimbangan penggunaan energi nuklir dengan melihat dampak yang mungkin muncul dan pertimbangan lain apabila penggunaannya disalahgunakan. Di Indonesia sendiri, pembangunan skala besar harus memenuhi izin lingkungan seperti AMDAL.

Ketiga, prosedur pengaplikasian dan pembuatan keputusan terkait pemberian izin yang lebih terbuka secara bertahap ditingkatkan sampai pada batas yang berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Melihat sikap masyarakat yang mulai kritis terhadap kondisi lingkungan, menuntut pemerintah bertindak selektif terhadap keberadaan bisnis. Bisnis asing biasanya akan menghadapi barrier-barrier yang lebih berbelit.

Selain lembaga, inovasi juga diarahkan pada taksiran dampak lingkungan (Environmental Impact Assessment / EIA). Ini menanggapi pertimbangan terhadap dampak lingkungan yang lamban atau bahkan tidak dilihat sama sekali. Harapannya, kita dapat memikirkan aksi terencana lebih dahulu sebelum pembuatan kebijakan agar kebijakan yang dibuat benar-benar menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Setidaknya, dengan adanya EIA ini, kita dapat membuka mata akan beberapa aktivitas manusia yang menimbulkan masalah lingkungan dan memberikan peluang masyarakat berpartisipasi membuat regulasi.

Energi Nuklir, Saksi Kemunculan Partisipasi  

Beberapa saran untuk melakukan aksi perubahan pada sistem administrasi publik dan pengetatan proses perizinan aktivitas industri (konten) tidak otomatis memperluas partisipasi dan tidak selalu meningkatkan . Pada tahun-tahun antara 1973 sampai 1986, energi nuklir menjadi topik yang paling kontroversial di hampir seluruh negara Barat sejak krisis minyak tahun 1973 sampai 1974. Energi nuklir dianggap aman untuk dijadikan alternatif minyak agar tidak terus-menerus bergantung pada impor minyak dari Timur Tengah.

Kemudian, muncul asumsi bahwa energi nuklir terkait erat dengan bom atom dan perlombaan senjata, juga dilihat sebagai simbol dari teknologi skala besar yang didominasi oleh para teknokrat dan bahaya apabila sampai pada tangan manusia yang tidak pikir panjang.

Singkatnya, energi nuklir itu berbahaya, tidak aman, tidak demokratis dan akibatnya secara politik dan sosial tidak dapat diterima (Driessen & Glasbergen, 2002, hal. 168). Ini menimbulkan adu sengit antara pihak polisi dengan gerakan lingkungan.

Berbicara mengenai partisipasi, dalam permasalahan nuklir ini sendiri belum tersedia instrumen yang mewadahi perdebatan politik akan prinsip dari energi tersebut−apakah berbahaya atau tidak. Pengambilan keputusan pun masih didasarkan pada gaya otokratis, yang didominasi oleh pertimbangan politik, militer, dan teknologi. Namun, perdebatan mengenai nuklir sebagai barang substitusi minyak telah memicu debat publik secara luas sejak protes lingkungan semakin menjadi-jadi ditujukan pada pemerintah. Pemerintah mengalami krisis legitimasi karena masyarakat telah kehilangan kepercayaannya.

Energi nuklir telah menghantarkan kita pada terciptanya kondisi pengambilan keputusan yang lebih partisipatif dalam skala nasional maupun internasional. Itu memicu debat publik dalam skala besar, seperti meeting lintas negara untuk memberikan publik peluang berpartisipasi, public hearings, diskusi, mendahului informasi dan komunikasi yang luas akan energi nuklir, membawa kita pada keputusan yang lebih mendukung (Driessen & Glasbergen, 2002, hal.169). Gerakan lingkungan dianggap sebagai instrumen inovatif dalam organisasi politik yang−telah disebutkan di atas−diharapkan dapat dirombak agar lebih partisipatif.

Nyatanya, debat publik berjalan secara tidak signifikan karena ada beberapa negara yang justru mendukung penggunaan nuklir. Ada beberapa alasan pro kontra penggunaan nuklir; penilaian berbeda akan keuntungan ekonomis dan risiko lingkungan, ketakutan Netherlands akan menimbulkan kemunduran perkembangan teknologi, dan kontribusi energi nuklir untuk memerangi 'hujan asam' menjadi fokus yang menarik di awal tahun delapan puluhan (Driessen & Glasbergen, 2002, hal.170).

Pemerintah Belanda beranggapan bahwa sikap kekeuh menggunakan nuklir bukan berarti mengabaikan debat publik, melainkan karena mereka memiliki pertimbangan lain yang lebih masuk akal. Lagipula, hasil dari debat publik bersifat tidak mengikat. Artinya, hasil debat publik tidak lantas akan termuat dalam kebijakan suatu negara. Opini mayoritas mungkin saja kalah dengan pertimbangan dan kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, kasus seperti ini masih dikaitkan dengan praktik pelembagaan dan demokrasi perwakilan yang minim partisipasi masyarakat.

Kasus ledakan salah satu Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Chernobyl tahun 1996 membuat pemerintah Belanda menunda niatnya untuk menindaklanjuti kebijakan terkait nuklir. Serbuk-serbuk radioaktif dari ledakan gedung pembangkit listrik nomor 4 yang cacat desain terbawa angin sehingga mencemari beberapa negara sekitar. Kita bisa berefleksi di sini bahwa kebijakan yang dibuat atas dasar pertimbangan para elit politik saja kurang dapat mewakili keinginan masyarakat umum.

             

Implikasi dari Bentuk Baru Partisipasi: Skeptis Pada Gerakan Lingkungan

Kebijakan terkait lingkungan, tata ruang, dan hal-hal lain yang perlu dirembuk bersama agaknya masih jauh dari bentuk ideal partisipasi. Pertama, gerakan lingkungan sebagai instrumen baru dirasa gagal membawa pada partisipasi yang lebih baik. Ini dikarenakan masyarakat awam masih absen dalam setiap proses pembuatan kebijakan. Kedua, set baru instrumen partisipasi gagal menyeimbangkan mekanisme partisipasi secara kumulatif. Maksudnya, ada ketidakberimbangan; individu atau kelompok yang sudah memiliki keterlibatan politik dan bersinggungan dengan masalah akan diberi kesempatan ekstra untuk berpartisipasi, sedangkan yang tidak memunyai interest terhadap isu tidak dimobilisasi.

Ketiga, partisipasi dilakukan dengan pengaruh yang terbatas pada proses pengambilan keputusan. Ini dikarenakan pemerintah memunyai kecenderungan untuk mengabaikan hasil dari partisipasi publik. Partisipasi sengaja dibatasi karena ada anggapan bahwa hasil debat publik yang tidak didukung bukti ilmiah akan berakhir sia-sia, kalah dengan argumen kementrian dan kelompok kepentingan tertentu. Meskipun masyarakat aktif menyuarakan tuntutan dan argumen, mereka tidak dapat berbuat banyak kalau pemerintah sudah berkata lain. Di sini dapat dilihat bahwa keseimbangan kekuasaan antara masyarakat dengan pemerintah masih belum terealisasi.

Efek lain dari bentuk baru partisipasi adalah efek tanpa disengaja (unintentional effects) terutama karena peran dan strategi yang digencarkan gerakan lingkungan. Menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah gerakan lingkungan bergerak atas nama masyarakat atau kepentingan pihak tertentu? Instrumen gerakan lingkungan memang perlu disorot sebagai bentuk keterwakilan pendapat masyarakat. Namun seringkali pelembagaan instrumen partisipasi ini masih memuat penyelewengan melalui peran dan strateginya.

Partisipasi: dari Societalisation ke Marketisasi Kebijakan Lingkungan

Kebijakan lingkungan memang tanggung jawab pemerintah. Kehadiran instrumen baru partisipasi muncul untuk mengingatkan transparansi dan aksesibilitas dari keputusan pemerintah. Isu penting partisipasi adalah bahwa secara bertahap melibatkan lebih banyak aktor dari yang hanya pemerintah, warga menjadi terlibat dalam kebijakan lingkungan. Bahkan kebijakan lingkungan diusahakan terus lebih peduli pada pemerintah, pasar, dan masyarakat sipil (Driessen & Glasbergen, 2002, hal. 175). Perubahan ini terjadi secara sengaja maupun tidak. Perubahan secara sengaja dapat dilihat dari peran dan strategi kebijakan lingkungan. Kebijakan dibuat dengan strategi agar lebih ekonomis dan komunikatif, di mana bisnis dan warga negara, produsen maupun konsumen tertarik, daripada dipaksa untuk bersikap ramah lingkungan. Misalnya, kebijakan yang meminta perusahaan produksi kendaraan bermotor mengurangi emisi asap knalpot. Kebijakan seperti ini jelas menarik produsen sekaligus konsumen dengan desain baru yang mereka senangi.

Perdebatan akan praktik partisipasi membuat kita perlu membedakan antara  ‘permasyarakatan/societalisation’ dan ‘marketisasi’. Societalisation dari kebijakan lingkungan menyiratkan pada perubahan strategi manajemen, di mana secara langsung, biasanya pemerintah menggunakan pendekatan top-down yang mana kemudi dipegang pemerintah, setidaknya dilengkapi dengan lainnya dengan bentuk yang lebih komunikatif dari pemerintahan (Weale, 1992 dalam Driessen & Glasbergen, 2002, hal. 176). Dengan begitu, lembaga nonpemerintah dan masyarakat dapat bersikap reaktif dengan mengajukan keberatan dalam prosedur banding. Mereka dapat terlibat dalam tahap persiapan, perencanaan, dan pelaksanaan kebijakan.

Dengan memperkenalkan mekanisme harga, masyarakat dan bisnis tidak lagi ditangani secara eksklusif sebagai 'bawahan hukum', tapi juga sebagai konsumen dan produsen. Sebagai pihak di pasar, mereka memiliki peran sendiri untuk bermain dan tanggung jawab sendiri dalam mengoperasikan mekanisme pasar (Driessen & Glasbergen, 2002, hal. 179).  Proses marketisasi kebijakan lingkungan berjalan paralel dengan proses societalisation. Mulai ada pergeseran dalam gaya pemerintahan, manajemen strategi, dan seperangkat instrumen kebijakan yang digunakan. Pemerintah mulai beralih dari yang hanya mengarahkan peraturan, kini juga memperkenalkan pasar, seperangkat instrumen untuk menarik warga dan pebisnis untuk mengubah cara pandang mereka dalam hal lingkungan.

Lingkungan dan partisipasi merupakan dua hal yang saling berkaitan. Makna dari partisipasi dan bagaimana partisipasi dibentuk telah mengalami perubahan yang substansial. Gerakan lingkungan telah mendorong penegakkan partisipasi karena banyaknya protes dan tekanan dari masyarakat dan environmentalist. Tujuannya untuk memastikan bahwa proses pengambilan keputusan lebih dipertimbangkan, dan untuk membuat keputusan pemerintah di bidang lingkungan lebih mudah diakses dan diverifikasi oleh warga dan gerakan lingkungan. Ada baiknya gerakan lingkungan sebagai kebangkitan instrumen baru partisipasi tidak dicampuri oleh kepentingan-kepentingan manapun. Sehingga gerakan lingkungan memang merupakan wadah yang mewakili aspirasi masyarakat. Bentuk baru partisipasi harus dimanfaatkan dengan jujur melalui keseimbangan kekuasaan antara pemerintah dengan masyarakat. (Selsyi/Kom/140905321)

Daftar Pustaka:

Driessen, P. J. & Glasbergen. (2002). Greening society: the paradigm shift in dutch environmental politics. Springer Science & Business Media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun