Mohon tunggu...
Elisabet Olimphia Selsyi
Elisabet Olimphia Selsyi Mohon Tunggu... Administrasi - well organized and visioner.

Beri aku sebuah media citizen jounalism, niscaya akan kuguncangkan jagat media. S.I.Kom UAJY.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Berkaca dari Brent Spar: Kesalahan Implementasi Strategi Komunikasi Risiko

21 Maret 2016   13:07 Diperbarui: 2 April 2016   13:55 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

        [caption caption="Brent Spar disembur air oleh para aktivis Greenpeace melalui kapal kecil"]           

             Perusahaan industri dalam perjalanannya tidak lepas dari risiko usaha. Risiko dapat muncul dari lingkup internal maupun eksternal perusahaan. Perusahaan mungkin menghadapi situasi krisis yang penuh dengan ketidakpastian, perubahan, atau merupakan ekses dari kegiatan usaha mereka sendiri. Perusahaan dituntut untuk bertanggung jawab dengan mampu mengambil keputusan yang tepat. Perusahaan harus mampu menemukan solusi yang membawa kemaslahatan bagi orang banyak dan sebisa mungkin meredakan protes publik.

            Perusahaan dalam mengambil keputusan perlu melakukan komunikasi risiko terlebih dahulu. Komunikasi risiko meliputi berbagai aktivitas, termasuk pengidentifikasian, penilaian, analisis kepentingan dan perhatian stakeholder, pembangunan strategi komunikasi dan konsultasi risiko, pembuatan pesan-pesan, penggunaan media, dan pemantauan serta penilaian hasil dialog dengan publik (Tampubolon, 2004, hal. 100). Hal-hal tersebut perlu dilakukan agar krisis tidak berujung pada ancaman yang mengerikan.

            Sebelum kita beranjak lebih jauh, alangkah baiknya kita mengetahui apa krisis itu. Krisis menurut Barton (dalam Satlita, 1999: 3) adalah peristiwa besar yang tak terduga yang secara potensial berdampak negatif terhadap baik perusahaan maupun publik. Situasi krisis juga pernah dialami perusahaan minyak Shell dan Exon pada tahun 1994 yang memiliki permasalahan terkait pembuangan tempat penyimpanan minyak bernama Brent Spar.

            Brent Spar mulai bekerja tahun 1976 dan berhenti beroperasi selama lima tahun. Sesuai dengan Pedoman Organisasi Maritim Internasional bahwa penenggelaman kerangka di dasar laut adalah pilihan yang diperbolehkan. Kemudian Shell memilih untuk menenggelamkan Brent Spar di dasar laut ketimbang tiga pilihan lain, yaitu pembuangan di darat, penenggelaman di lokasi Brent Spar saat ini (di Samudera Atlantik bagian utara), atau penguraian di tempat.

            Shell dalam mengambil keputusan sudah mempertimbangkan dampak teknis, keamanan,  dan lingkungan dari penenggelaman tersebut. Kemudian Shell meminta izin penenggelaman kepada Departemen Perdagangan dan Industri U.K. Mereka memperbolehkan karena sesuai dengan Best Practicable Environmental Option (BPEO). Pemerintah U.K. mengeluarkan lisensi pembuangan untuk Shell pada minggu pertama bulan Mei. Namun, sebelum izin tersebut dikeluarkan ternyata desas-desusnya Brent Spar telah diambil alih oleh aktivis Greenpeace di Jerman. Setelah kejadian tersebut, krisis terus berkembang. Brent Spar terus menerus menjadi agenda pemberitaan media.

            Kementrian Lingkungan dan Pertanian Jerman mengajukan protes ke pemerintah U.K. dengan alasan bahwa pembuangan di darat belum diteliti secara signifikan. Greenpeace sampai mengerahkan para politikus dengan menandatangani petisi untuk menentang penenggelaman di dasar laut dan memboikot perusahaan Shell. Pemboikotan berhasil dilakukan di Jerman, Holland, dan sebagian dari Scandinavia (Lofstedt & Renn, 1997, hal. 132).

            Kontroversi terus berlanjut. Posisi Shell dan Pemerintahan U.K. semakin terpojokkan. Usaha dalam menghentikan pembuangan ke laut dianggap sebagai sebuah tren dari seluruh dunia untuk melindungi lautnya. Hal itu yang membuat permasalahan lingkungan mampu menyorot perhatian publik. Greenpeace kembali mpyenduduki Brent Spar. Greenpeace mengklaim adanya sejumlah logam berat dan material racun organik yang tinggi di tangki yang mana belum diumumkan oleh Shell. Ini membuat protes semakin menyebar dan menjadi-jadi.

 

Komunikasi dan Konsultasi            

            Komunikasi dan konsultasi akan membantu menjembatani jurang antara bukti-bukti dan angka-angka statistik dan persepsi semua pihak mengenai risiko. Selain itu juga untuk mengantisipasi dan menanggapi perhatian, kekhawatiran, atau harapan publik secara efektif. Setiap pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat mengenai manajemen risiko harus dilihat sebagai kesempatan untuk mengkomunikasikan risiko dan cara perusahaan mengelolanya (Tampubolon, 2004, hal. 100).

            Dalam rangka mencegah berkembangnya krisis, Shell mulai melakukan strategi komunikasi melalui sejumlah media massa yang ditujukan kepada konsumen di Jerman dan Denmark. Di Jerman, mereka menggunakan satu halaman iklan di 100 koran nasional dan lokal dengan judul “Kami akan berubah.” Dalam hal ini, Shell mengakui kesalahannya. Ia juga memberikan penjelasan bahwa keputusan untuk membuang Brent Spar di laut sudah dipertimbangkan sebelumnya atas dasar teknis dan lingkungan.

            Di Denmark, Shell mengirimkan surat kepada 250.000 pemegang kartu kredit untuk menjelaskan kebijakan mereka. Pada bulan Juli 1995, Shell meminta perusahaan Norwegia Det Norske Veritas untuk menyelidiki tuduhan yang dibuat oleh Greenpeace tentang tangki penyimpanan Brent Spar yang masih berisi 5000 ton minyak mentah. Namun, akhirnya mereka mengakui telah membuat kesalahan tentang jumlah polutan yang tersisa, tetapi mereka tetap menolak penenggelaman Brent Spar (Lofstedt, 1997, hal. 133).

            Namun, ternyata upaya Shell dalam melakukan komunikasi untuk penanganan risiko mengalami kegagalan. Padahal, isi dari Brent Spar nyatanya hanya mengandung sedikit material berbahaya yaitu kurang dari 1% dari total sejumlah yang dibongkar. Para ahli juga berpendapat bahwa penenggelaman hanya menimbulkan dampak polusi air dalam level rendah. Maka, Shell akhirnya memunculkan analisis taksiran dari komunikasi krisis yang mereka lakukan. Shell menyadari bahwa dibutuhkan cara yang lebih terbuka, didukung dengan mobilisasi yang giat dari para ahli sarjana, memperbanyak diskusi internasional, dan yang paling penting adalah tetap memperhitungkan persepsi publik.

 

Kegagalan dari Informasi Balasan

            Perusahaan harus mampu mengahadapi krisis dan bukannya menghindari krisis. Dengan begitu, perusahaan perlu menanggapi protes masyarakat dengan memberikan penjelasan. Perusahaan dalam menghadapi krisis sebaiknya menggunakan pendekatan dialog−yang akhir-akhir ini banyak digunakan dalam penelitian komunikasi risiko−daripada pendekatan atas bawah.

            Nampaknya Brent Spar melakukan kesalahan dalam hal pendekatan komunikasi ini. Pendekatan atas bawah membuat pihak Shell mengasingkan publiknya dengan seketika, dan kemudian datang dengan serakah dan tidak bisa diganggu gugat. Keputusan yang dibuat Shell terkesan sepihak dengan tanpa memperhatikan dampak bisnisnya terhadap masyarakat banyak. Padahal seperti yang kita tahu, isu lingkungan merupakan isu publik.

            Kegagalan Shell diperparah dengan lembaga yang dihadapinya. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa publik secara umum, lebih mempercayai NGO daripada industri atau pemerintahan (Lofstedt & Renn, 1997, hal. 133). Ketidakpercayaan ini diperparah dengan ketidakmampuan perusahaan Shell dalam mengurangi ketidakpercayaan publik dengan percampuran informasi dari Shell Inggris dengan Shell di U.K dan Jerman mengenai Brent Spar yang menimbulkan kebingungan. Shell tidak punya satu suara (univoice), sedangkan Greenpeace sehingga itu semakin menguatkan argumen mereka. Kondisi bawah laut juga diharapkan tidak ditinggalkan tanpa dikotori sehingga terjaga “kesuciannya”. Kondisi Shell semakin terpuruk berkat peran media dalam memberikan ulasan panjang yang mendominasi.

 

Belajar dari Kegagalan       

            Ada beberapa pelajaran yang dapat dipelajari dari kontroversi Brent Spar yang mungkin bisa membantu kita memastikan bahwa jenis krisis ini dapat diminimalkan di masa depan:

1.        Perusahaan harus menerapkan pendekatan dialog sebelum melihat penyebabnya (Lofstedt & Renn, 1997, hal. 135). Dalam hal ini dibutuhkan strategi timbal balik dan perusahaan harus membuka dialog dengan masyarakat, kelompok-kelompok kepentingan khusus, dan para ahli dalam rangka untuk memeroleh solusi yang dapat diterima untuk semua orang. Kita perlu mengingat bahwa setiap orang memiliki perbedaan nilai dan prioritas yang mendasar, yang membentuk definisi dan penilaian dari risiko dan penerimaan.

2.        Industri perlu mengembangkan strategi komunikasi yang lebih baik dan fleksibel untuk mengatasi kritik dari kelompok-kelompok yang bermusuhan (Lofstedt & Renn, 1997, hal. 135). Perusahaan dapat menyediakan pihak independen untuk meninjau aksi yang dilakukan Shell atau industri lain terkait masalah tersebut agar jangan sampai keputusan yang mereka buat menimbulkan perlawanan dari publik. Ini ditujukan untuk memastikan bahwa kritik berfokus pada isu itu sendiri, dan bukan pada organisasinya. Akhirnya, pengambilan keputusan berfokus pada  pemberdayaan.

3.        Saran tentang bagaimana cara terbaik dalam menangani jenis krisis harus dicari dari para ilmuwan sosial atau konselor media yang tidak terlibat (Lofstedt & Renn, 1997, hal. 135). Dengan begitu diharapkan mereka dapat menengahi permasalahan dengan bijaksana.

4.        Perusahaan harus mengatur pembicara atau fokus grup di berbagai negara untuk memperhitungkan perbedaan persepsi publik antara negara-negara yang terkena dampak (Lofstedt & Renn, 1997, hal. 135). Terkait dengan ini, ada kebutuhan untuk meningkatkan konsultasi dan komunikasi dengan instansi politik di negara-negara lain untuk mendapatkan kata sepakat akan metode baru yang disarankan, juga melihat protes publik yang mungkin terjadi.

5.        Industri harus memahami keprihatinan dan kekhawatiran publik yang mendasari sikap mereka (Lofstedt & Renn, 1997, hal. 135). Strategi yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi isu-isu lingkungan yang menimbulkan keresahan masyarakat.

6.        Industri, terutama perusahaan multinasional harus memiliki strategi komunikasi yang tidak ambigu dan seragam, baik internal maupun dengan antar negara yang berbeda (Lofstedt & Renn, 1997, hal. 135). Informasi yang campur aduk justru membuat publik bingung.

7.        Lembaga perizinan pemerintah harus menekankan kontrol dan akuntabilitas (Lofstedt & Renn, 1997, hal. 135). Pemerintah sebaiknya bersikap independen.

8.        Perusahaan industri dan LSM harus berusaha membentuk aliansi yang dihormati oleh sekutunya (Lofstedt & Renn, 1997, hal. 135). Semakin banyak LSM yang dirangkul oleh perusahaan untuk berpihak pada mereka, maka publik akan semakin segan.

           

Daftar Pustaka:

Tampubolon, R. (2004). Risk management: qualitative approach applied to commercial banks. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Cleary, S. & Malleret, T. (2008). Berbisnis dengan Osama: mengubah risiko global menjadi peluang sukses. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Lofstedt, R. A. & Renn, O. (1997). The Brent Spar controversy: an example of risk
 communication gone wrong. Risk Analysis, 17(2), 131-136.

Satlina, L. (n.d.). Strategi komunikasi dalam menangani krisis organisasi. Diakses dari 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun