Para adaptor, memiliki tantangan di mana harus menyatukan dua karakter yang berbeda, novel merupakan media linguistik, sedangkan film merupakan visual.
Hal ini menunjukkan bahwa pembuat film adaptasi bukan penerjemah, namun sudah menjadi penulis baru yang konstruktif dan lebih kreatif.
Menurut Seger (dalam Ardianto, 2014: 20), adaptor perlu memperhatikan tiga proses adaptasi, yaitu rethinking (berpikir ulang), reconceptualizing (mengkonsep ulang), dan understanding (memahami) novel yang akan diadaptasi.
Karakter Dikta dan Hukum
Tiga proses yang dikemukakan oleh Seger di atas menggambarkan bahwa adaptasi film bisa saja menghasilkan cerita yang berbeda dari novelnya.
Ini terjadi karena ada bagian novel yang masih kurang sesuai atau kurang memenuhi kriteria dalam film.
Namun, bagi kebanyakan orang mengeluhkan soal cerita yang berbeda dengan di apa yang mereka baca di novel.
Berbeda dengan serial Dikta dan Hukum. Masyarakat, terutama penggemar NCT DREAM, yang mengklaim bahwa penulis novel, penulis naskah, dan sutradara tidak teliti.
Bukan soal konsep ceritanya, namun yang menjadi permasalahan ada pada bagian karakter dalam cerita tersebut.
Film serial ini menggunakan nama karakter dari beberapa personel NCT DREAM, seperti Doyoung, karakter utama sebagai Dikta.
Selain Jeno, nama-nama karakter diganti menggunakan nama lokal. Sehingga, banyak dari penggemar yang akhirnya protes, karena akan memengaruhi citra dan branding Jeno NCT DREAM.
Mungkin penulis ingin menampilkan hal yang unik dengan menggunakan nama Jeno yang notabenenya bukan nama Indonesia pada umumnya.