Mohon tunggu...
Eli Halimah
Eli Halimah Mohon Tunggu... Guru - open minded

guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hari Ibu?

24 Desember 2021   05:37 Diperbarui: 24 Desember 2021   05:54 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senyum tak beranjak dari wajah mereka barang sedetik pun. Sebuah pemandangan yang sangat ideal. Ayah, ibu, dan dua anak yang cantik dan ganteng.

Aku melirik anakku yang tengah membereskan beberapa kardus yang dia pungut dari tempat sampah di sekitar restoran. Beberapa detik kepalaku berpindah-pindah, dari anakku ke meja tempat keluarga ideal itu duduk. Begitu selama beberapa kali.

Jarak kami sangat dekat, tetapi nasib kami seperti langit dan bumi. Apa yang salah dengan kehidupan kami? Mengapa kami berbeda dengan mereka?

"Selamat hari ibu. Terima kasih karena Ibu telah menjadi wanita paling hebat dalam hidup aku. Ibu bisa menjadi teman diskusi yang sangat seru. Ibu juga bisa menjadi konsultan handalku. Terus, Ibu juga kadang jadi psikolog yang super duper canggih. Pokoknya, Ibu adalah the best woman ever in my life," ucap si gadis seraya mengangsurkan sebuah kotak terbungkus kertas berwarna biru laut. Di atasnya tersemat sebuah pita besar berwarna kuning keemasan. Cantik sekali.

Sang Ibu sedikit terkejut dengan hadiah yang diberikan putrinya. Dia menerimanya dan mendaratkan sebuah ciuman di pipi kanan dan kiri gadisnya. Si Ibu mengeluarkan hadiah itu, sebuah baju bermotif bunga kecil berwarna salem dan sebuah hijab dengan warna senada. Tak ketinggalan Sang Ayah dan putra mereka juga menghadiahkan sesuatu pada wanita yang sangat beruntung itu. Ternyata mereka tengah merayakan hari ibu.

Aku tak tahu jika ada peringatan hari tersebut. Sejak kecil, ibuku juga nenekku tak pernah memberitahukan hal itu. Bisa jadi mereka pun tidak tahu. Apalagi merayakannya. Bahkan hari raya agama kami pun, jarang kami peringati.

Aku mengalihkan pandangan ke pangkuanku. Bayiku mulai menggeliat. Dia membuka matanya dan menangis beberapa saat. Aku tahu, rasa laparlah yang membangunkan tidurnya.

"Bu, ape," ucap anakku setelah selesai membereskan kardus-kardus itu. Lapar, itu maksudnya.

"Nanti ya, Nak. Sebentar lagi. Ibu masih capek." Perih dan sejuta perasaan bersalah menyelimuti karena aku harus berbohong padanya.

Sungguh, kakiku masih sangat kuat berjalan hingga belahan dunia mana pun demi mereka berdua. Aku hanya ingin sejenak saja melapangkan dada yang sesak karena keadaan. Dari pagi hingga sesiang ini baru seperempat karung besar botol plastik yang kami dapatkan. Entahlah, apa yang salah dengan kondisi di negeriku ini. Jumlah orang-orang seperti kami, kian hari kian bertambah.

Beberapa tempat yang biasa kami datangigi, sudah lebih dahulu didatangi orang lain. Mereka masih terlihat muda dan bertenaga. Mengapa mereka tidak bekerja saja? Ah, sudahlah. Pertanyaanku pun tidak akan ada yang bisa menjawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun