Mohon tunggu...
Eli Halimah
Eli Halimah Mohon Tunggu... Guru - open minded

guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hari Ibu?

24 Desember 2021   05:37 Diperbarui: 24 Desember 2021   05:54 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Silakan duduk, Bu." Dia pun duduk di seberang meja. "Ibu mau mendaftarkan anak Ibu ke sekolah kami?"

"Ya, betul. Kata mereka, Thomi harus sekolah di sekolah seperti ini. Bisa, Bu?" Tak sabar aku ingin segera nama anakku tercatat di sebuah sekolah, apa pun itu.

"Maaf, Bu. Ini sekolah swasta," ucapnya sambal sedikit menekankan kata 'swasta'.

"Memangnya kenapa kalau swasta?" tanyaku yang bingung dengan jawabannya.

"Ibu harus membayar di sekolah ini dan bayarannya lumayan mahal. Lebih baik Ibu mencari sekolah negeri. Di sana kemungkinan bisa gratis." Sekarang senyumnya sudah tidak ada lagi pada wajah di hadapanku.

Sedih lagi-lagi mendapatkan penolakan semacam ini. Kalau aku yang ditolak, itu tidak masalah. Akan tetapi, anakku yang mereka tolak. Ah, bukan. Aku salah selama ini. Bukan aku atau anakku yang mereka tolak, tetapi kemiskinan yang kami miliki. Ya, mereka menolak karena kami miskin.
'Andai Ibu tahu, aku pun tidak memilih nasib ini. Ini nasib yang telah Tuhan pilihkan untuk kami. Lalu Ibu menolaknya? Silakan Ibu tanyakan pada Tuhan, mengapa kami yang Dia pilih menjadi orang miskin.' Kalimat itu hanya berputar di hatiku, tentu saja. Kukeluarkan pun, mereka tetap tak akan menerima kemiskinan kami.

Aku bangkit dan sedikit menyunggingkan senyum. "Terima kasih." Aku menggamit lengan anakku kuat-kuat dan keluar dari ruang yang tak lagi nyaman.

Ah, aku harus membuang jauh semua pengalaman buruk itu. Anggaplah semua tak pernah terjadi. Tiba-tiba ...

"Ayo, Bu. Kita makan di sini saja. Ibu pasti suka dengan menu di sini. Semuanya sesuai dengan selera Ibu yang suka pedas. Ayo, Yah, Mas!" Seorang gadis berhijab pink turun dari mobil sedan berwarna hitam mewah.  Seorang lelaki gagah dan pemuda berkaca mata hitam turun dari kursi pengemudi dan sebelahnya.

Mereka tampak sangat bahagia. Si gadis menggandeng Sang Ibu dan si pemuda menggandeng Sang Ayah. Mereka beriringan memasuki restoran dan menempati sebuah meja lesehan.

Secepat kilat seorang pelayan menghampiri mereka. Beberapa jenis menu dipesan nyaris tanpa banyak pertimbangan. Kalau pendengaranku tidak salah, ada sepuluh jenis menu yang mereka pesan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun