Mohon tunggu...
Eli Halimah
Eli Halimah Mohon Tunggu... Guru - open minded

guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anda Harus Putar Balik

23 Mei 2021   15:45 Diperbarui: 23 Mei 2021   15:46 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

CERITA_UNIK_DI_BALIK_MUDIK

Idulfitri telah usai. Lebaran ketupat juga telah sampai. Namun kami belum bisa ke mana-mana, efek penyekatan oleh pemerintah. Sebagai warga negara yang baik, kami berusaha mematuhi semua  kebijakan pemerintah, jika kebijakan ith benar-benar bijak. Penyekatan pertama dari tanggal 6 - 17 Mei 2021. Kami berencana mudik tanggal 19 Mei.

Namun, beredar kabar jika penyekatan di Banten diperpanjang hingga akhir Mei. Duh, bagaimna urusannya ini? Mudik belum, anak masuk pondok senin depan, kok malah sekatannya diperpanjang.

Setelah mengikuti perkembangan dan pengakuan beberapa orang yang lolos dalam perjalanan mereka, membuat kami memutuskan tanggal kepulangan pada Jumat.

Setelah penyekatan yang dilakukan oleh pemerintah, akhirnya kami bisa bersilaturrahim ke orang tua di lain daerah pada Jumat 21 Mei 2021.

Pukul 13.00, kami keluar dari gerbang depan rumah. Bismillaahi majreehaa wamuraaahaa, kami semua merapal doa, semoga Allah senantiasa melindungi kami selama perjalanan ini dan selamat sampai tujuan.

Kali ini kami melakukan safar dengan formasi lengkap. Suami, aku, dan 4 anak, Fauzan, Adnan, Shidqi, dan si bungsu Akifa.

Satu jam perjalanan, kami sampai di gerbang tol Cikupa. Gerbang menuju wilayah Jakarta. Fauzan, sulungku yang di sedang nyetir tetiba memukul kemudi sambil sedikit bersorak, "Aduh, ada polisi lagi."

Kami semua terkejut dan spontan enam pasang mata kami mengarah ke depan. Beberapa mobil di depan kami diberhentikan. Satu per satu mereka ditanya. Entah apa itu pertanyaannya. Aku yang baru tersadar dari tidur masih setengah sadar menyapu semua gambar yang ada di depan mata.

Seorang bapak berkopiah merah marun terlihat menangkupkan kedua tangannya di depan dada seraya memohon pada dua orang polisi yang kelihatan sedikit lelah, tetapi tetap tegas. Pintu penumpang terbuka dan seorang ibu dengan lima orang anak yang masih kecil-kecil ikut memberikan afirmasi atas keterangan lelaki berkopiah itu. Kelima anak kecil itu mulai menangis satu per satu. Suasana menjadi kian gaduh. Si bapak membantu perempuan itu menggendong satu anak dan menggandeng anakn lain dengan tangan kanannya. Seorang anak terlihat menggelosor di tanah dan meraung-raung menangis.

Kami melihat kejadian itu dari dalam mobil dan tidak tahu harus berbuat apa.

Di sudut lain, seorang ibu berbadan tinghi besar terlihat sangat emosi karena mobilnya diberhentikan dan ditanya-tanyai oleh seorang polisi. Di belakangnya, seorang anak muda sibuk merekam kejadian tersebut. Tak tanggung-tanggung, si pemuda sesekali mengelilingi si ibu dan polisi yang terlihat sedang berseteru.

Aku sedikit heran dengan tingkah si pemuda itu dan siapa dia? Kok berani sekali merekam mereka begitu vulgarnya.

Tiga pengendara mobil lain tak luput dari pemeriksaan. Semua berkebaratan saat disuruh putar balik dan kembali ke tempat asal masing-masing. Di dalam mobil, kami ber enam sangat tegang. Wajah kami tak bergerak terus memandangi polisi-polisi yang tengah bertugas.

"Ya Allah, semoga kami lolos," ucap kami bersamaan seraya terus waspada pada segala kemungkinan. Si bungsu Akifa menempelkan badannya ke badanku. Dia kemudian menutupi mukanya dengan jilbab yang dia pakai. Aku merangkulnya seraya terus menghimpun doa.

Tibalah mobil kami di hadapan dua polisi yang telah siap dengan wajah sangat tegas, tanpa kompromi. Sulungku menurunkan kedua kaca depan kanan dan kiri mobil.

"Siang, Pak," sapanya serileks mungkin.

"Siang, Mas. Mau ke mana?" Tanya salah seorang polisi setelah menurunkan tangan kanannya memberikan hormat pada kami.

"Yang paling aman, apa jawabnya, Pak?" Tanya anakku. Duh, berani sekali dia bercanda dengan polisi pada saat gawat seperti ini.

"Kami serius ya, Mas," timpal satu polisi lagi.

"Kami pun serius bertanya," sambung anak keduaku di sebelah kakaknya.

Aduh, aku menepuk jidat kali ini. Sejak kapan sih anak-anakku jadi pada konyol begini. Tahu sendiri kalau berurusan dengan polisi itu bagaimana rumitnya.

"Silakan Masnya turun dulu," perintah polisi yang pertama.

"Pa, tuh sana. Ladeni polisinya," kataku pada suami yang masih diam saja di sebelah Akifa.

"Biarin aja, kita lihat seberapa beraninya pemuda-pemuda kita ini," tampiknya seraya menunjuk kedua anak lanang kami yang tadi menjawab dengan 'konyol'.

"Ayo, Nan, kita turun. Siapa takut? Lah wong kita nggak salah, kok," jawabnya seraya mencolek lengan adiknya di samping.

Mereka berdua turun dari mobil dan menghadap kedua polisi tadi. Terlihat mereka berdiskusi atau beradu pendapat, aku tak bisa membedakan. Lama, mereka betdebat. Kami masih menunggu dalam mobil.

Setelah lama menunggu, kedua anakku kembali ke mobil dan menggelengkan kepala.

"Gak boleh lanjut. Kita disuruh putar balik," kata si sulung sambil dudul do belakang kemudi. Dia terlihat lesu.

"Masa sih, Kak," ucap suami tak percaya.
Tak lama lanang keduaku masuk dan duduk di samping kakaknya.

"Bener suruh balik lagi, Nan?" Tanyaku pada anak kedua.

"Ya, gila. Tiada maaf bagimu."
Tak ada pilihan lain, kami harus balik lagi ke Cilegon. Duh, sudah heboh beberes dan packing-packing. Bawaan kue seabrek, semua sia-sia.

"Terus?" Tanyaku menggantung.

"Ya kita putar balik, nanti di depan," jawab Adnan.

Mobil kami bergerak seperti juga mobil-mobil yang lainnya. Mobil berjalan lambat, aku menurunkan kaca mobil di sampingku. Penasaran sekali dengan para polisi itu. Hanya ingin melihat wajah-wajah mereka.

Saat melewati salah satu polisi, aku menatapnya dengan tajam. Saat itu aku tidak memakai masker karena terbawa kategangan suasana. Tiba-tiba dia seperti terkaget dan segera menghampiri mobil kami.

"Berhenti berhenti!" Perintahnya sambil menepuk badan mobil bagian samping, tepat di sampingku. Aku kaget bukan kepalang. Aduh, kenapa lagi? Jangan-jangan pak polisi itu marah karena aku tatap begitu tajamnya.

"Siang, Bu!" Sapanya sambil memberi hormat.

"Ya, siang, Pak," jawabku sedikit menciut.

"Ibu yang bernama Elhalima, kan? Penulis buku JUWITA HATI BUMI JAWARA, kan?" Tanyanya sambil memerhatikanku yang masih kebingungan.

"Eh, ya betul. Kok Pak polisi tahu?" Aku semakin bingung.

"Saya *********, saya salah satu fans Ibu. Sebentar ya, Bu. Jangan pergi dulu," katanya lalu lari entah ke mana.

Belum sempat kami membahas keheranan akan apa yang terjadi, Pak polisi tadi sudah kembali lagi sambil membawa buku karyaku di tangannya.

"Kalau boleh, saya minta tanda tangan Ibu dan mau berfoto dengan Ibu," pintanya.

"Eh, oh,  ya, boleh saja, Pak" kataku masih sangat kaget.

Dia mengangsurkan buku dan sebuah bolpoin. Aku menerima dan membuka halaman awal buku berwarna biru keunguan itu. Di sana kutandatangani dan kuberi sedikit catatan. "IZINKAN KAMI MELANJUTKAN PERJALANAN MUDIK KAMI, PAK! SEMOGA ALLAH MEMUDAHKAN SEMUA URUSAN BAPAK"

Kuserahkan buku itu pada Pak polisi dan dia memosisikan ponselnya menjadi kamera depan. Dia berdiri di samping pintu dan kemudian memoto aku dan dirinya.

Beberapa gambar dia ambil lalu berhenti. Dia melihat buku yang tadi kutandatangani. Beberapa saat dia tertegun mambaca pesanku di sana. Dia seperti merasakan dilema.
Pandangannya berpindah-pindah, dari tulisan ke arahku selama beberapa kali.

Akhirnya dia mengembuskan napas panjangnya dan "Bismillaah" ucapnya.
Dia mengambil buku catatan kecil dari saku bajunya, menuliskan beberapa kata di sana dan memberikannya padaku. " Ibu, selamat melanjutkan perjalanan. Berikan kertas ini pada polisi mana pun yang nanti menahan perjalanan Ibu. Semoga selamat sampai tujuan, bertemu dan berkumpul dengan orang tua dan keluarga di Buntet Pesantren. Saya tunggu karya-karya Ibu selanjutnya, tolong jangan dibaca ya bu isi pesan saya. Hanya untuk para polisi saja," katanya panjang lebar lalu memberikan hormat sambil sedikit membungkukkan badan.

Kami semua berucap terima kasih lalu melanjutkan perjalanan. Di beberapa titik, saat mobil kami diberhentikan oleh polisi, aku memperlihatkan kertas memo yang yang sedari tadi kupegang. Alhamdulillah, setelah mereka membaca pesan itu, kami diperkenankan melanjutkan perjalanan kami sampai tujuan. Alhamdulillaah.

***

Sambil terengah-engah karena berhalusinasi terlalu panjang, aku ditertawakan dan dibully oleh suami dan empat anak-anakku. Mereka protes atas rekayasa perjalanan mudik kami kali ini. Padahal skenarionya kan sangat bagus dan tanpa cela.

Ah, di situlah enaknya jadi penulis. Boleh dan sah berimajinasi setinggi apa pun. Just no limit. Hahaha

"Wow, emak gue gitu loh. Halunya mantap," Fauzan di sulung berteriak.

"Mamah mending tidur lagi deh," perintah Adnan anak keduaku.

"Mah, dari mana dapat ide begitu?" Giliran suami yang bertanya.

"Hehehehe, Mamah. Ada-ada aja," Shidqi anak ketiga keheranan.

"Kenapa sih semua pada marahin Mamah?" Hanya Akifa yang membela Emaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun