"Silakan Masnya turun dulu," perintah polisi yang pertama.
"Pa, tuh sana. Ladeni polisinya," kataku pada suami yang masih diam saja di sebelah Akifa.
"Biarin aja, kita lihat seberapa beraninya pemuda-pemuda kita ini," tampiknya seraya menunjuk kedua anak lanang kami yang tadi menjawab dengan 'konyol'.
"Ayo, Nan, kita turun. Siapa takut? Lah wong kita nggak salah, kok," jawabnya seraya mencolek lengan adiknya di samping.
Mereka berdua turun dari mobil dan menghadap kedua polisi tadi. Terlihat mereka berdiskusi atau beradu pendapat, aku tak bisa membedakan. Lama, mereka betdebat. Kami masih menunggu dalam mobil.
Setelah lama menunggu, kedua anakku kembali ke mobil dan menggelengkan kepala.
"Gak boleh lanjut. Kita disuruh putar balik," kata si sulung sambil dudul do belakang kemudi. Dia terlihat lesu.
"Masa sih, Kak," ucap suami tak percaya.
Tak lama lanang keduaku masuk dan duduk di samping kakaknya.
"Bener suruh balik lagi, Nan?" Tanyaku pada anak kedua.
"Ya, gila. Tiada maaf bagimu."
Tak ada pilihan lain, kami harus balik lagi ke Cilegon. Duh, sudah heboh beberes dan packing-packing. Bawaan kue seabrek, semua sia-sia.
"Terus?" Tanyaku menggantung.