Dialog Lintas Agama
Dialog antar Agama sebagai jembatan pluralitas, merupakan usaha untuk memahami, menghormati penganut agama lain. Bukan usaha untuk menaungi dalam satu gerakan bersama yang disebut Pluralisme Agama (Together Religious) untuk menerima (mengadopsi) doktrin dari masing-masing Agama sebagai ajaran yang sahih.Â
Justeru dengan memaksakan untuk menerima doktrin Agama lain menjadi kendala dalam dialog antar lintas Agama. Ada kekhawatiran dari masing-masing agama dengan keunikannya masing-masing akan melebur dan terhisap atau bisa juga menelan yang lainnya. Apriori semacam ini muncul tidak hanya dalam konteks lintas Agama, bahkan dalam internal suatu Agama yang menganut dogma sebagai ajaran yang dipegang teguh.Â
Namun prasangka itu akan teratasi bila dialog lintas agama memberi tempat bagi masing-masing agama untuk tetap pada keunikan dan finalitas ajaran Agama. Dengan demikian dialog antar umat beragama bertujuan jelas yaitu membangun toleransi untuk saling menghormati dan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi sesama umat beragama lain untuk beribadah kepada Tuhan menurut keyakinannya.
Namun tanpa disadari metode dialog lintas agama yang dikembangkan di Indonesia secara khusus dan dunia pada umumnya justeru memicu intoleran, dialog menjadi arena apologet.Â
Metode dialog antar umat beragama yang pada mulanya hanya sekedar wadah persekutuan dan sebagai ekspresi toleransi untuk saling menghargai dan menghormati. Tetapi dalam perkembangannya berubah menjadi usaha dari masing-masing agama dan antar umat beragama yang lainnya untuk saling mempelajari kesamaan-kesamaan kebenaran yang mereka anut, sampai taraf dimana mereka dapat saling menerima keabsahan dan kebenaran semua agama (Pluralisme Agama).
Pluralitas dan Sikap Menghargai SesamaÂ
Menghargai sesama yang berbeda keyakinan dengan kita adalah bentuk ekspresi iman. Ajaran Kitab Suci sebagai pedoman dalam hidup bersama di tengah kemajemukan atau pluralitas. Seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus: "Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.Â
Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Injil Matius 22:37-40). Masing-masing Agama selalu mengajarkan kebaikan, moralitas dan nilai-nilai baik yang menjadi panduan bagaimana kita hidup sebagai sesama anak bangsa, tidak ada Agama yang mengajarkan kejahatan.Â
Mengetahui bahwa setiap manusia yang hidup di dunia adalah ciptaan Allah, sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk saling menghormati, mengasihi dan menghargai perbedaan satu sama lain. Ideologi Pancasila menjungjung tinggi prinsip solidaritas, dan perikemanusiaan.Â
Perlakuan kita terhadap sesama menunjukan paham yang kita anut, juga sebagai bentuk sikap beribadah kepada Tuhan. Penghinaan kepada sesama manusia sesungguhnya penghinaan kepada Sang Pencipta, tetapi penghargaan dan kasih kepada sesama manusia merupakan ekspresi kasih kepada Tuhan Sang Khalik.Â
Jadi pluralitas adalah kekayaan yang diinginkan Tuhan ada di dalam dunia ini, bagi kita merupakan keunikan dari bangsa kita dan kekayaan, sekaligus menjadi panggung toleransi untuk mengekspresikan iman kita supaya menjadi berkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H