Mohon tunggu...
Ilham Romadhan
Ilham Romadhan Mohon Tunggu... Penulis - Zawiyah

Nulis macem-macem di https://qahwiyat.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup dalam Pelukan Puisi Nizar

25 September 2020   06:58 Diperbarui: 25 September 2020   07:25 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nizar Taufiqi Qabbani, penyair romantik kebangsaan Suriah, lahir di Damaskus 1923. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Suriah pada tahun 1945 lalu memilih untuk menjadi diplomasi. Pernah bermukim di Kairo, Ankara, London, Madrid dan Beijing.

Puisinya yang berjudul 'Khubz wa Hasyis wa Qamar' (Roti, Rumput dan Bulan) membuat Nizar berhenti berdiplomasi setelah dihentikan pembesar Suriah pada pertengahan tahun 50 dan dirinya sempat dibawa ke parlemen. Pada tahun 1966 ia mendirikan percetakan pribadi di Beirut dengan menyematkan namanya sebagai ikon penerbit.

Nizar telah menulis lebih dari 41 buku puisi. Buku pertamanya selesai dikarang pada 1944 dengan judul 'Qalat li As-Samra' (Burnette itu Bilang Padaku). Di tahun 1961 ia menyelesaikan buku kedua; Habibati (Kekasihku). Setahun setelahnya, lahir buku 'Ar-Rasmu bil Kalimat' (Menggambar Dengan Kalimat). 1993, buku 'Qashaidu Hubbi Arabiyyah' (Puisi Cinta Bangsa Arab) selesai dikarang.

Kepiawaian Nizar dalam menyusun kata-kata romantis telah diakui banyak kalangan. Utamanya saat ia menikah untuk kedua kalinya dengan perempuan Irak bernama Balqis. Dari Istri pertamanya--yang mana adalah sepupunya sendiri: Zahra Uqbaik--lahir dua putra, Hudaba dan Taufik. Sementara dari pernikahannya dengan Balqis lahir seorang putra, Umar dan putri, Zainab.

Kegarangan Nizar timbul saat mengetahui istri keduanya: Balqis, meninggal dunia disebabkan serangan bom yang menghanguskan kota Beirut pada tahun 1982. Sejak itu, Nizar selalu mengaitkan puisinya dengan bangsa Arab yang dianggap telah menjadi sebab terbununhya Balqis. Serta kalimat-kalimatnya berteriak lantang meminta pertanggung jawaban atas apa yang dilakukan bangsa Arab kepada istrinya. Setelah kejadian itu, Nizar menolak untuk menikahi gadis lain. Ia memilih mengasingkan dirinya di salah satu daerah terpencil Kota Britania.

Termasuk yang mempengaruhi heroik puisi Nizar dalam mengusung 'cinta yang marah' adalah kematian adik kandungnya dengan cara tak lazim (bunuh diri) karena dipaksa menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya.

Ketika itu Nizar menuliskan satu bait puisi yang terkumpul dalam bukunya; Qisshati ma'a Syi'ir (Kisahku Dengan Puisi), "Apakah kematian saudariku di jalan cinta membuatku lantas merajut dan merangkai kata-kata indah dalam puisiku?

Apakah kata-kataku tentang cinta dapat mewakili amarahnya kepada para pembenci atau siapa saja yang menolak cinta?

Aku tak bisa meyakinkan diriku sendiri, namun aku merasa jantung saudariku pergi meninggalkan pecahan-pecahan di tubuhku. Dan memberiku pelataran masa kecil yang lebih luas dari bagian dunia manapun dan melebihi bahasa isyarat atau pertanyaan apa saja."

Saya pribadi sangat tertarik dengan puisi -- puisinya (entah karena apa timbul demikian yang jelas cinta tidak bisa ditanyakan alasan karena memang bukan suatu sebab).

Saya pertama kali mengenalnya dua tahun silam (2018) lewat satu postingan akun Usman Arrumy, mahasiswa Indonesia yang belajar di Kairo. Waktu itu tentu saya belum mengenal siapa Nizar (itu kali pertama saya mendengar namanya). Namun gaya puisinya mampu merangkul hati saya yang kadang rumit ini. Saya baca sekali, namun selalu ingin mengulang. Saya mencoba cari tahu siapa Nizar sebenarnya. Sejak itu, saya mulai menekuni dan terus melacak semua tulisannya. Saya mendadak jadi Nizariat (penggemar Nizar).

Kemarin terkumpul sekitar 9 bukunya dalam versi Pdf, karena jarang sekali buku-bukunya (dalam versi Asli bukan terjemahan) ditemui di Indonesia. Pada pertengahan 2019, saya mencoba menerjemahkan salah satu bukunya, buku pertamanya ; Qamar Li As-Samra (Burnette Itu Berkata Padaku). Namun hingga kini, belum sempat saya rampungkan. Doakan saja. Hehe.

Sekarang, entah kenapa setelah lama tidak membaca puisi-puisinya, saya seperti terdorong lagi untuk mendekat ke pelukan Nizar. Beberapa hari kemarin, di tengah gonjang-ganjingnya pandemi Corona, saya dengan tidak sengaja menemukan cuplikan puisinya dalam sajian kuot. Jujur, hati saya kala itu seperti telur yang baru menetas dan disapa matahari. Perasaan saya seolah ombak yang ditarik-tarik rembulan. Pontang-panting sana sini. Hatta, saya menemukan satu puisi yang mampu menjangkau dasar tubuh saya yang saat ini masih dalam proses penerjemahan ke Indonesia.

Doakan semoga cepat rampung sehingga kita bisa menikmati kehangatan pelukan-pelukan Nizar melalui puisinya. Nizar wafat pada 30 April 1998 dan dimakamkan di Bab Shagir, salah satu pemakaman terbesar di Damaskus Suriah.

(1 April 2020)

*Sebagian bahan dia dari tesis Ahmad Burhanuddin, mahasiswa Universitas Konko, Cetak pertama; 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun