Nizar Taufiqi Qabbani, penyair romantik kebangsaan Suriah, lahir di Damaskus 1923. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Suriah pada tahun 1945 lalu memilih untuk menjadi diplomasi. Pernah bermukim di Kairo, Ankara, London, Madrid dan Beijing.
Puisinya yang berjudul 'Khubz wa Hasyis wa Qamar' (Roti, Rumput dan Bulan) membuat Nizar berhenti berdiplomasi setelah dihentikan pembesar Suriah pada pertengahan tahun 50 dan dirinya sempat dibawa ke parlemen. Pada tahun 1966 ia mendirikan percetakan pribadi di Beirut dengan menyematkan namanya sebagai ikon penerbit.
Nizar telah menulis lebih dari 41 buku puisi. Buku pertamanya selesai dikarang pada 1944 dengan judul 'Qalat li As-Samra' (Burnette itu Bilang Padaku). Di tahun 1961 ia menyelesaikan buku kedua; Habibati (Kekasihku). Setahun setelahnya, lahir buku 'Ar-Rasmu bil Kalimat' (Menggambar Dengan Kalimat). 1993, buku 'Qashaidu Hubbi Arabiyyah' (Puisi Cinta Bangsa Arab) selesai dikarang.
Kepiawaian Nizar dalam menyusun kata-kata romantis telah diakui banyak kalangan. Utamanya saat ia menikah untuk kedua kalinya dengan perempuan Irak bernama Balqis. Dari Istri pertamanya--yang mana adalah sepupunya sendiri: Zahra Uqbaik--lahir dua putra, Hudaba dan Taufik. Sementara dari pernikahannya dengan Balqis lahir seorang putra, Umar dan putri, Zainab.
Kegarangan Nizar timbul saat mengetahui istri keduanya: Balqis, meninggal dunia disebabkan serangan bom yang menghanguskan kota Beirut pada tahun 1982. Sejak itu, Nizar selalu mengaitkan puisinya dengan bangsa Arab yang dianggap telah menjadi sebab terbununhya Balqis. Serta kalimat-kalimatnya berteriak lantang meminta pertanggung jawaban atas apa yang dilakukan bangsa Arab kepada istrinya. Setelah kejadian itu, Nizar menolak untuk menikahi gadis lain. Ia memilih mengasingkan dirinya di salah satu daerah terpencil Kota Britania.
Termasuk yang mempengaruhi heroik puisi Nizar dalam mengusung 'cinta yang marah' adalah kematian adik kandungnya dengan cara tak lazim (bunuh diri) karena dipaksa menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya.
Ketika itu Nizar menuliskan satu bait puisi yang terkumpul dalam bukunya; Qisshati ma'a Syi'ir (Kisahku Dengan Puisi), "Apakah kematian saudariku di jalan cinta membuatku lantas merajut dan merangkai kata-kata indah dalam puisiku?
Apakah kata-kataku tentang cinta dapat mewakili amarahnya kepada para pembenci atau siapa saja yang menolak cinta?
Aku tak bisa meyakinkan diriku sendiri, namun aku merasa jantung saudariku pergi meninggalkan pecahan-pecahan di tubuhku. Dan memberiku pelataran masa kecil yang lebih luas dari bagian dunia manapun dan melebihi bahasa isyarat atau pertanyaan apa saja."
Saya pribadi sangat tertarik dengan puisi -- puisinya (entah karena apa timbul demikian yang jelas cinta tidak bisa ditanyakan alasan karena memang bukan suatu sebab).
Saya pertama kali mengenalnya dua tahun silam (2018) lewat satu postingan akun Usman Arrumy, mahasiswa Indonesia yang belajar di Kairo. Waktu itu tentu saya belum mengenal siapa Nizar (itu kali pertama saya mendengar namanya). Namun gaya puisinya mampu merangkul hati saya yang kadang rumit ini. Saya baca sekali, namun selalu ingin mengulang. Saya mencoba cari tahu siapa Nizar sebenarnya. Sejak itu, saya mulai menekuni dan terus melacak semua tulisannya. Saya mendadak jadi Nizariat (penggemar Nizar).