Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Itu di Rumah Ratna

17 September 2024   06:05 Diperbarui: 17 September 2024   06:07 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu saya terbangun tengah malam dan tidak bisa tidur lagi. Saya lantas berpikir, mungkin dengan membuka jendela kamar lalu melihat kerlip bintang yang masih tersisa di langit, rasa kantuk akan kembali singgah.

Tapi ternyata tidak. Mata saya tetap saja terbuka lebar. Bahkan lebih lebar dari sebelum saya berangkat tidur.

Kondisi tidak wajar itu seakan memberi sinyal jikalau saya tidak sedang sendirian di dalam kamar sempit ini. Ada sosok lain yang tengah memerhatikan saya. Saya pun berbalik badan. Dan, benarlah. Saya memang melihat sosok lain itu.

Seorang perempuan!

Entah bagaimana cara dia---perempuan itu masuk ke dalam kamar saya dengan kursi roda yang ukurannya sedikit lebih lebar dari ukuran ambang pintu kamar saya.

"Jadi kapan kamu akan berkunjung ke rumahku?"

Perempuan di atas kursi roda itu menegur saya tanpa basa-basi. Saya mendengar ketegasan pada nada suaranya. Saya tidak menjawab. Saya kembali berbalik badan, menatap langit malam di luar sana yang perlahan berubah muram.

"Kamu mendengarku tidak?" Teguran itu terdengar lagi.

"Rumah apa?" Agak gugup saya bertanya balik. Sebelum menjawab pertanyaan saya, perempuan yang sekilas penampilannya mirip laki-laki itu melambaikan tangan. Meminta saya untuk mendekat.

"Aku akan menjelaskan kepadamu setelah kamu berkunjung ke sana."

Saya ingin mengatakan sesuatu, tapi mendadak perempuan di atas kursi roda itu raib. Saat itulah saya sadar. Saya tidak sedang bicara dengan siapa pun. Saya hanya berdiri termangu. Menatap buku-buku yang berserakan di atas meja.

***

Ya. Saya adalah seorang pemburu buku. Dan saya punya satu alasan mengapa saya sangat keranjingan terhadap buku-buku. Meski saya tahu, alasan saya itu---mungkin bagi sebagian orang terdengar agak tidak masuk akal.

Begini. Setiap kali saya membaca sebuah buku cerita---apa pun itu, saya pasti bisa berdialog langsung dengan tokoh-tokohnya. Saya bisa duduk jagongan berlama-lama, menyeruput secangkir kopi, menikmati sepiring pisang goreng, bahkan tak jarang terlibat langsung ke dalam pusaran konflik yang terjadi pada kisah mereka.

Seperti hari ini.

Sepulang kerja saya meraih sebuah buku kumpulan cerita yang tergeletak di atas meja. Buku itu bergambar seekor burung merpati yang terbang mengudara sembari membawa sepucuk surat. Ketika membuka halaman pertama, Mas Nasrul, salah satu tokoh dalam buku cerita itu buru-buru menyodori saya sederet kalimat. "Tuhanku bernama Ratna."

Sontak saya tersenyum. Saya paham betul apa maksud dari kata tuhan yang dianalogikan oleh Mas Nasrul. 

"Kamu, segeralah berkunjung ke sana. Ke Rumah Ratna itu." Mas Nasrul melanjutkan kalimatnya seraya menatap saya dengan sorot mata penuh harap.

"Biar kutebak. Kalian berdua---Mas dan tuhan Mas itu, memiliki kedekatan emosional yang erat." Saya membalas tatapan Mas Nasrul dengan penuh rasa simpati. Mas Nasrul mengangguk pelan.

"Tolong, berhentilah menatapku seperti itu. Kalau tidak, aku bisa jatuh cinta kepadamu." Mas Nasrul menyudahi percakapan kami, tepat di saat jemari tangan saya sigap menutup sampul buku.

***

Layaknya bangunan khas peninggalan Kolonial Belanda, rumah itu memiliki struktur atap gambrel yang tinggi dan unik. Halamannya yang luas ditumbuhi dua pohon kenari dengan beberapa lampu taman berbentuk bola menyala temaram di bawahnya. Pada dinding rumah, tepat di atas jendela lantai 2, tertera angka 1914. 

Saya datang ke rumah itu sesuai saran Mas Nasrul. Katanya, di rumah bernomor 3 itu saya akan menemukan banyak sekali kejutan.

Kejutan? Bagaimana bisa Mas Nasrul tahu jikalau saya, selain hobi berburu buku juga menyukai hal-hal yang penuh kejutan? Saya sontak tersenyum-senyum sendiri. Merasa kagum. Kadang tokoh dalam sebuah cerita---ini menurut pemikiran saya, memiliki intelegensi jauh lebih tinggi ketimbang pembacanya.  

Setelah berlama-lama mengamati keadaan sekitar, saya menyeret langkah, melewati jalan setapak berbatu yang kanan kirinya ditumbuhi bunga sedap malam. Lalu berhenti sejenak di depan paviliun yang terletak di sisi kiri rumah induk, yang malam itu tampak benderang oleh cahaya lampu-lampu.

Agak ragu saya masuk ke dalam paviliun yang pintunya dibiarkan terbuka. Paviliun itu tampak sepi. Tidak seorang pun menyambut kedatangan saya, kecuali sebuah papan bertuliskan "Selamat Datang di Rumah Budaya Ratna" yang tertempel pada dinding ruang tamu.

Paviliun itu ternyata terbagi menjadi dua bagian. Ruang tamu dan galeri. Di galeri itulah saya menemukan banyak sekali buku-buku tersusun rapi di dalam rak-rak berukuran besar. Berkali mata saya terbelalak takjub. Sungguh, saya merasa seolah sedang berada di dalam sebuah kastel yang indah yang dindingnya berornamen buku-buku.

"Akhirnya sampai juga kamu di rumah ini." Mas Nasrul, tahu-tahu sudah berdiri di belakang saya.

"Inikah yang Mas maksud dengan kejutan itu?" Saya tersenyum manis ke arahnya. Laki-laki fiktif itu membalas senyum saya, lebar.

"Bukan hanya buku-buku. Lihatlah kejutan lain ini!" Mas Nasrul menunjuk ke arah dinding di belakang saya yang dipenuhi foto-foto lawas. Foto-foto yang sebagian kertasnya sudah memburam dimakan usia. Sontak saya terperangah. Dalam salah satu foto yang terpajang pada dinding itu saya melihat sesosok perempuan duduk di atas kursi roda---sama persis dengan perempuan yang malam itu berada di dalam kamar saya. Di belakangnya tampak seorang laki-laki berambut gondrong mendorong kursi roda itu.

"Selamat datang di rumah impianku. Rumah Baca Ratna." Sosok dalam foto itu menyambut saya ramah.

"Itu Mbak Ratna. Dia yang menjadikanku tidak ada menjadi ada." Jelas Mas Nasrul dengan sorot mata berbinar.

"Laki-laki gondrong yang berdiri di belakang beliau itu pasti dirimu. Bukan begitu kan, Mas?" Saya menoleh ke arah Mas Nasrul seraya mengedipkan sebelah mata. Seketika tawa Mas Nasrul pecah.

Dan, malam itu di Rumah Ratna, kami bertiga berdiskusi serta saling bertukar kisah. Hingga waktu beringsut maju. Hingga kedua pohon kenari di depan rumah menari perlahan meluruhkan buah dan daun-daun keringnya.

***

Malang, 17 September 2024

Lilik Fatimah Azzahra

Note: Ide cerpen ini didapat ketika berkunjung ke Rumah Budaya Ratna-Malang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun