Saya ingin mengatakan sesuatu, tapi mendadak perempuan di atas kursi roda itu raib. Saat itulah saya sadar. Saya tidak sedang bicara dengan siapa pun. Saya hanya berdiri termangu. Menatap buku-buku yang berserakan di atas meja.
***
Ya. Saya adalah seorang pemburu buku. Dan saya punya satu alasan mengapa saya sangat keranjingan terhadap buku-buku. Meski saya tahu, alasan saya itu---mungkin bagi sebagian orang terdengar agak tidak masuk akal.
Begini. Setiap kali saya membaca sebuah buku cerita---apa pun itu, saya pasti bisa berdialog langsung dengan tokoh-tokohnya. Saya bisa duduk jagongan berlama-lama, menyeruput secangkir kopi, menikmati sepiring pisang goreng, bahkan tak jarang terlibat langsung ke dalam pusaran konflik yang terjadi pada kisah mereka.
Seperti hari ini.
Sepulang kerja saya meraih sebuah buku kumpulan cerita yang tergeletak di atas meja. Buku itu bergambar seekor burung merpati yang terbang mengudara sembari membawa sepucuk surat. Ketika membuka halaman pertama, Mas Nasrul, salah satu tokoh dalam buku cerita itu buru-buru menyodori saya sederet kalimat. "Tuhanku bernama Ratna."
Sontak saya tersenyum. Saya paham betul apa maksud dari kata tuhan yang dianalogikan oleh Mas Nasrul.Â
"Kamu, segeralah berkunjung ke sana. Ke Rumah Ratna itu." Mas Nasrul melanjutkan kalimatnya seraya menatap saya dengan sorot mata penuh harap.
"Biar kutebak. Kalian berdua---Mas dan tuhan Mas itu, memiliki kedekatan emosional yang erat." Saya membalas tatapan Mas Nasrul dengan penuh rasa simpati. Mas Nasrul mengangguk pelan.
"Tolong, berhentilah menatapku seperti itu. Kalau tidak, aku bisa jatuh cinta kepadamu." Mas Nasrul menyudahi percakapan kami, tepat di saat jemari tangan saya sigap menutup sampul buku.
***