Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Cersil (8): Sebuah Permintaan

11 Agustus 2024   07:05 Diperbarui: 11 Agustus 2024   07:14 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang pergi hanyalah segumpal awan yang berarak. Dan, yang tertinggal adalah cinta yang patut untuk dipertahankan.

Padepokan Siur Bertuah

Nyai Fatimah. Tangannya masih memeluk sapu tangan merah erat-erat. Air matanya mendadak berebut tumpah. Dadanya terasa sesak menahan gemuruh yang kembali singgah. Gemuruh yang sama seperti yang pernah ia rasakan saat pertama kali bertemu Pendekar Gong Bumi itu. Gemuruh yang lantas ia identikkan sebagai perasaan jatuh cinta.

"Kangmas Gong Bumi, tidakkah kita akan bertemu lagi? Mengapa harum wangi tubuhmu ikut terbawa oleh sapu tangan merah ini?"

Sesaat mata berair itu menyapu sekeliling. Berharap ada seseorang muncul dan tersenyum ke arahnya. Namun, Nyai Fatimah mesti mengempaskan gemuruh di dadanya itu jauh-jauh ketika terdengar seruan dari dalam padepokan. 

"Nyai! Ada tamu ingin bertemu Nyai!"

Tergopoh ia menyembunyikan sapu tangan merah di sebalik kutangnya sebelum berjalan menuju ruang tamu padepokan. Sesaat langkahnya terhenti di ambang pintu manakala mengenali sosok tamu yang duduk membelakanginya dengan kaki methingkrang pada lengan kursi.

Dadanya kembali bergemuruh. Tapi gemuruh kali ini lebih kepada memendam rasa amarah. 

Orang itu! Pendekar Tua Aneh itu untuk apa muncul di Pedepokan Siur Bertuah ini?

Belum sempat berpaling wajah, Pendekar Tua Aneh sudah melesat dari kursi dan berdiri tepat di hadapannya.

"Nyai...apa kabarmu?"

"Ba-ik. Seperti yang kaulihat!"

"Aih Nyai. Kau masih juga galak seperti dulu. Tapi aku senang. Sebab perempuan galak biasanya hatinya rapuh. Ini fakta, Nyai. Bhuahahahaha...."

"Kau Pendekar Tua, masih juga menyebalkan!"

"Sudahlah Nyai. Bersikaplah lebih lembut terhadap tamu istimewaku ini." Maha Guru Ayah datang melerai seraya memberi tanda agar perempuan itu mengikutinya. Sontak Nyai Fatimah terdiam. Masih dengan wajah masam ia mengintil, mengikuti Maha Guru Ayah keluar menuju halaman samping padepokan. 

Di atas sebuah bangku yang terbuat dari gelondong kayu mahoni, ketiganya duduk berjejer. Nyai Fatimah berada di tengah, diapit oleh Maha Guru Ayah dan Pendekar Tua Aneh.

"Nyai, Kanda Pendekar dari Timur sudah bicara kepadaku. Intinya, beliau minta pertolonganmu." Maha Guru Ayah melirik sekilas ke arah Nyai Fatimah yang masih rapat-rapat mengatupkan bibir.

"Biar aku yang bilang sendiri, Dinda Guru. Begini Nyai, adikku Artati sedang terluka parah. Meski sudah ada pendekar muda yang berusaha membantu mengobati, luka itu tak kunjung sembuh." Pendekar Tua Aneh menggeser posisi duduknya agar bisa lebih dekat dengan Nyai Fatimah.

"Setiap luka akan sembuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu!" Sergah Nyai Fatimah sengit. "Lagi pula, pertolongan apa yang bisa kuberikan? Aku bukan tabib!"

"Nyai, dengar dulu. Jangan menyela penuturan Kanda Pendekar dari Timur. Biarkan beliau..." Maha Guru Ayah tidak meneruskan kalimatnya. Nyalinya mungsret manakala melihat mata Nyai Fatimah menyala tajam tertuju ke arahnya. Terutama ketika Nyai Fatimah sigap berdiri dengan posisi tegak.

"Baiklah. Kita tidak perlu melanjutkan pembicaraan tidak berguna ini. Dengar Felix. Aku sudah paham apa maksud dan tujuanmu datang ke padepokan ini. Bukankah kau ingin aku segera pergi agar adikmu Artati itu bisa kembali belajar di sini? Dan kau Firdaus, jangan coba mengingat-ingat aku lagi. Semuanya sudah selesai! Hiaaaaaaatttttt....!!!"

Bersamaan dengan teriakan berkekuatan tenaga dalam penuh amarah itu tubuh Nyai Fatimah melesat bagai anak panah terlepas dari busurnya. Sesudahnya tubuh itu menghilang di antara rerimbun pepohonan tanpa meninggalkan jejak. 

Sementara Maha Guru Ayah dan Pendekar Tua Aneh hanya bisa saling senyum dan bertukar pandang.

***

Pada akhirnya, cinta yang kamu dapat sebanding dengan cinta yang kamu buat.

Padepokan Kandang Sapi

Pemuda gondrong itu sudah rampung melaksanakan tugasnya. Ia lantas duduk untuk melepas lelah di atas balai bambu sembari menikmati ubi rebus yang uapnya masih mengepul.

Sementara Artati, posisinya masih telentang di atas kursi. Ia terheran saat menyadari rasa sakit pada dada kirinya berangsur-angsur hilang. Juga rasa nyeri dan tertekan beberapa waktu lalu tiba-tiba saja raib entah ke mana. Diam-diam tangannya meraba dada kirinya dengan hati-hati.

Meraba dada? 

Sontak amarahnya meluap begitu ingat tangan pemuda gondrong yang tengah asyik menikmati ubi rebus itu juga pernah menyentuh dadanya. Meski dengan dalih mengobati luka, Artati tetap tidak terima. Ia merasa telah dilecehkan. 

Sontak Artati bangkit dari duduk, sigeg memasang kuda-kuda lalu mengayunkan tendangan super dahsyat menjurus tepat ke arah dada pemuda itu. 

"Hiyaaaaaattttttt....!!!"

Seruan lantang membuat pendekar muda refleks merebahkan diri. Akibatnya tendangan maut Artati meleset total. Dan, gubrak! Tubuh Artati jatuh tertelungkup. Tepat di samping pemuda yang sangat dibencinya itu.  

Besambung....

***

Malang, 11 Agustus 2024

Lilik Fatimah Azzahra

Cerita sebelumnya: 

Cersil (7) : Sapu Tangan Merah

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun