"Nyai...apa kabarmu?"
"Ba-ik. Seperti yang kaulihat!"
"Aih Nyai. Kau masih juga galak seperti dulu. Tapi aku senang. Sebab perempuan galak biasanya hatinya rapuh. Ini fakta, Nyai. Bhuahahahaha...."
"Kau Pendekar Tua, masih juga menyebalkan!"
"Sudahlah Nyai. Bersikaplah lebih lembut terhadap tamu istimewaku ini." Maha Guru Ayah datang melerai seraya memberi tanda agar perempuan itu mengikutinya. Sontak Nyai Fatimah terdiam. Masih dengan wajah masam ia mengintil, mengikuti Maha Guru Ayah keluar menuju halaman samping padepokan.Â
Di atas sebuah bangku yang terbuat dari gelondong kayu mahoni, ketiganya duduk berjejer. Nyai Fatimah berada di tengah, diapit oleh Maha Guru Ayah dan Pendekar Tua Aneh.
"Nyai, Kanda Pendekar dari Timur sudah bicara kepadaku. Intinya, beliau minta pertolonganmu." Maha Guru Ayah melirik sekilas ke arah Nyai Fatimah yang masih rapat-rapat mengatupkan bibir.
"Biar aku yang bilang sendiri, Dinda Guru. Begini Nyai, adikku Artati sedang terluka parah. Meski sudah ada pendekar muda yang berusaha membantu mengobati, luka itu tak kunjung sembuh." Pendekar Tua Aneh menggeser posisi duduknya agar bisa lebih dekat dengan Nyai Fatimah.
"Setiap luka akan sembuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu!" Sergah Nyai Fatimah sengit. "Lagi pula, pertolongan apa yang bisa kuberikan? Aku bukan tabib!"
"Nyai, dengar dulu. Jangan menyela penuturan Kanda Pendekar dari Timur. Biarkan beliau..." Maha Guru Ayah tidak meneruskan kalimatnya. Nyalinya mungsret manakala melihat mata Nyai Fatimah menyala tajam tertuju ke arahnya. Terutama ketika Nyai Fatimah sigap berdiri dengan posisi tegak.
"Baiklah. Kita tidak perlu melanjutkan pembicaraan tidak berguna ini. Dengar Felix. Aku sudah paham apa maksud dan tujuanmu datang ke padepokan ini. Bukankah kau ingin aku segera pergi agar adikmu Artati itu bisa kembali belajar di sini? Dan kau Firdaus, jangan coba mengingat-ingat aku lagi. Semuanya sudah selesai! Hiaaaaaaatttttt....!!!"