Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Cersil (6): Lawan yang Sebanding

21 Juli 2024   06:32 Diperbarui: 21 Juli 2024   06:43 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://lovepik.com

Saat menemukan kebenaran, yang sakit adalah hati. Saat mengungkap kebohongan, yang dimgin adalah perasaan.

Masih di Halaman Padepokan Kandang Sapi             

Pendekar Kantong Bolong buru-buru menyumpal hidungnya rapat-rapat menggunakan gulungan daun sirih untuk mencegah keinginan bersin-bersin. Setelah dirasa aman, dia memberanikan diri mendekati sosok yang masih meringkuk di bawah pohon nangka. 

"Kisanak, apakah Anda baik-baik saja?"

Tak diduga sosok itu tiba-tiba bangkit dan berbalik badan. Lalu menyerang membabi buta. 

"Ciaaaaaaattt!!!"

Diegh!

Satu tendangan keras mendarat telak di dada kanan pendekar muda itu. Tubuhnya sempat sempoyongan.

"Ciiaaaaaaattt!!

Kali ini pukulan tenaga dalam menyasar ke arah dada sebelah kiri. Dan, meleset.

"Tahan Kisanak! Tahan dulu! Apa yang menimpamu bukanlah kesengajaan!" Pendekar Kantong Bolong berusaha menjelaskan. Tapi sosok yang tak lain adalah Pendekar Tua Aneh itu seolah tak mendengar. Ia tetap saja menyerang dengan jurus-jurus mematikan. 

Merasa jiwanya terancam, Pendekar Kantong Bolong terpaksa meladeni serangan-serangan yang datangnya bertubi-tubi dan tanpa jeda itu. Meski sebenarnya ia sedang tidak ingin bertarung. Tapi jika tidak melakukan perlawanan bisa-bisa tamat riwayatnya.

"Terimalah jurus Macan Kesurupan ini! Hiiiyaaaaa....auuuummmm!!!"

Bak harimau terluka, Pendekar Kantong Bolong menerjang ke arah Pendekar Tua Aneh. Dan, tiba-tiba saja keduanya sudah bergumul, saling terkam, saling banting, saling tindih, lalu bergulingan di atas tanah seperti gasing.

Suasana kian tak terkendali. Asap tebal bergulung-gulung mengitari arena pertarungan. Udara malam yang semula dingin berubah menjadi panas dan pengap. Debu beterbangan di sana-sini akibat hentakan-hentakan kaki yang disertai kekuatan bertenaga dalam.

Sepertinya pertarungan malam itu tidak akan pernah berakhir.

"Jurus Ekor Buaya Melambai! Ciaaaaatttt!!!"

"Jurus Monyet Menari! Hiyaaaaa....!!!"

"Jurus Kadal Buntung!"

"Jurus Nenek Gayung!"

Segala jurus andalan beruntun dikeluarkan. Tapi salah satu atau kedua dari pendekar itu tak ada yang tumbang. Mereka masih tampak tangguh. Segar bugar. Masih sigeg berdiri di atas kaki masing-masing. Tak ada perubahan yang berarti kecuali wajah yang belepotan terkena keringat bercampur debu.

Bulan di langit hilang timbul. Seolah memberi tanda agar pertarungan segera dituntaskan.

Namun, belum sempat keduanya merapal jurus pamungkas paling dahsyat, sesosok makhluk menyerupai kucing raksasa melintas secepat kilat, lalu lenyap ditelan kegelapan malam.

"Ada penyusup lagi rupanya! Awas kau!" Pendekar Tua Aneh sontak memutar badan. Laki-laki tua itu menajamkan penglihatan, juga pendengaran. Tapi tak terlihat atau terdengar apa-apa. Tubuhnya berbalik lagi ke arah Pendekar Kantong Bolong yang tengah duduk bersila di atas batu besar sembari memejamkan mata.

"Hoiiii, Anak Muda! Kita sudahi pertarungan selamat datang ini. Kupersilakan kau masuk ke padepokan Kandang Sapi. Bhuahahahaha..." 

Pendekar Tua Aneh berjalan mendekat, langkahnya agak gontai. Si pemuda sontak berdiri memberi hormat dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada.

"Mohon dimaafkan atas kelancangan saya, Tuan Guru. Sungguh, penyakit bersin-bersin ini telah mengacaukan semuanya. Sekali lagi mohon maaf! Hat.... Hatttsyiiii!!!"

***

Menjauh adalah bentuk penolakan terbesar bagi hati yang terluka. 

Sesekali mata Artati yang sembab melirik kantong kain yang tersampir di pundak pemuda berpenampilan dekil dan urakan itu. Dan, ia bergidik manakala membayangkan apa saja isi kantong yang tampak kumal karena jarang dicuci.

"Jangan memandang manggis dari kulitnya!" Tiba-tiba saja pemuda yang tengah duduk berhadapan dengan Pendekar Tua Aneh itu berkata lantang. Sontak Artati menggeser duduk. Bibirnya manyun beberapa senti. Dalam hati ia menggerutu kesal. Dasar pemuda edan! 

"Sebuah penelitian menyatakan, seseorang yang suka menggerutu meski hanya di dalam hati, umurnya pendek alias cepat mati!" Lagi-lagi pemuda dekil itu berkata lantang. Seketika Artati membuang muka. Cuping hidungnya bergerak-gerak naik turun.

"Jadi apa yang bisa saya bantu, Tuan Guru? Undangan Anda mengatakan ada sesuatu yang sangat penting." 

"Adikku Artati terkena tendangan beracun. Entah siapa yang melakukannya. Menurut pengakuannya sih, makhluk berbulu menyerupai kucing raksasa. Peristiwanya terjadi di sekitar perbatasan Hutan Garangan. Eh, tunggu! Bukankah saat kita bertarung tadi makhluk semacam itu sempat melintas?"

Sesaat suasana berubah hening.

"Tuan Guru, saya akan mencobanya. Mengobati luka di dada kiri adik Anda."

"Hai! Dari mana kamu tahu dada kiriku yang terluka? Kakakku belum mengatakannya kepadamu! Lagi pula aku tidak sudi menjadi pasienmu!" Artati tidak bisa menahan diri lagi. Ia geram terhadap pemuda yang dianggapnya sangat lancang dan sok pintar itu.

"Baiklah. Anda sudah mendengar sendiri kan, Tuan Guru? Adik Anda menolak saya obati. Jadi izinkan saya pamit pergi."

"Tunggu! Jangan pergi dulu. Tolong bantu aku. Jika tidak adikku bisa mati. Dinda Artati! Jaga bicaramu!" Pendekar Tua Aneh melotot ke arah Artati. 

"Tapi Kangmas..."

Hup!

Tahu-tahu pemuda dekil berjuluk Pendekar Kantong Bolong sudah berdiri di hadapan Artati. Tangan kanannya menempel di atas dada kiri gadis itu.

"Kangmaaaaas! Lihat betapa kurang ajarnya pemuda ini! Tangannya bahkan meraba..."

Dep!

Satu totokan mendarat di bawah dagu Artati. Membuatnya bungkam tidak bisa berkata-kata.

Bersambung.....

***

Malang, 21 Juli 2024

Lilik Fatimah Azzahra

Kisah sebelumnya:

1.Geger Lubang Sumur

2.Kemilau Pedang Cinta

3.Prahara Padang Bulan

4.Sang Pemburu

5.Selamat Datang Pendekar Kantong Bolong!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun