Bulan di langit hilang timbul. Seolah memberi tanda agar pertarungan segera dituntaskan.
Namun, belum sempat keduanya merapal jurus pamungkas paling dahsyat, sesosok makhluk menyerupai kucing raksasa melintas secepat kilat, lalu lenyap ditelan kegelapan malam.
"Ada penyusup lagi rupanya! Awas kau!" Pendekar Tua Aneh sontak memutar badan. Laki-laki tua itu menajamkan penglihatan, juga pendengaran. Tapi tak terlihat atau terdengar apa-apa. Tubuhnya berbalik lagi ke arah Pendekar Kantong Bolong yang tengah duduk bersila di atas batu besar sembari memejamkan mata.
"Hoiiii, Anak Muda! Kita sudahi pertarungan selamat datang ini. Kupersilakan kau masuk ke padepokan Kandang Sapi. Bhuahahahaha..."Â
Pendekar Tua Aneh berjalan mendekat, langkahnya agak gontai. Si pemuda sontak berdiri memberi hormat dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada.
"Mohon dimaafkan atas kelancangan saya, Tuan Guru. Sungguh, penyakit bersin-bersin ini telah mengacaukan semuanya. Sekali lagi mohon maaf! Hat.... Hatttsyiiii!!!"
***
Menjauh adalah bentuk penolakan terbesar bagi hati yang terluka.Â
Sesekali mata Artati yang sembab melirik kantong kain yang tersampir di pundak pemuda berpenampilan dekil dan urakan itu. Dan, ia bergidik manakala membayangkan apa saja isi kantong yang tampak kumal karena jarang dicuci.
"Jangan memandang manggis dari kulitnya!" Tiba-tiba saja pemuda yang tengah duduk berhadapan dengan Pendekar Tua Aneh itu berkata lantang. Sontak Artati menggeser duduk. Bibirnya manyun beberapa senti. Dalam hati ia menggerutu kesal. Dasar pemuda edan!Â
"Sebuah penelitian menyatakan, seseorang yang suka menggerutu meski hanya di dalam hati, umurnya pendek alias cepat mati!" Lagi-lagi pemuda dekil itu berkata lantang. Seketika Artati membuang muka. Cuping hidungnya bergerak-gerak naik turun.