Hati yang patah memang menyakitkan. Tapi dari rasa sakit yang mendera itu akan membuatmu kuat dan lebih bijak.
Padepokan Kandang Sapi
"Sudahlah Dinda Artati. Jangan menangis terus. Sebentar lagi pertolongan akan tiba."Â Pendekar Tua Aneh membujuk adik kesayangannya yang meringkuk sesenggukan di balik selimut.Â
"Duh, Kangmas, aku belum mau mati! Aku masih ingin membalas dendam pada perempuan keparat itu!" Artati menggerakkan kedua kakinya dengan kalap. Selimut yang menutupi tubuhnya tersibak berantakan.Â
"Maksudmu dendam pada Nyai Fatimah?" Pendekar Tua Aneh memicingkan mata.
"Iya, Kangmas! Pada siapa lagi kalau bukan dia!" Artati semakin geram. Terutama karena kakaknya itu bersikap sangat telmi. Telat mikir.Â
Tak ingin bertambah bingung, Pendekar Tua Aneh memutuskan keluar dari kamar Artati seraya bergumam, "Perempuan kalau sudah jatuh cinta dan cemburu, sungguh sangat mengerikan!"
Di luar langit kian temaram. Sekawanan tonggeret berebut melantunkan tembang selamat datang kegelapan dengan suara serak-serak basah. Pendekar Tua Aneh masih berjalan mengitari padepokan Kandang Sapi. Langkahnya baru berhenti ketika matanya tertumbuk pada pohon nangka berbuah lebat yang tumbuh tak jauh dari batu besar tempat ia biasa melakukan meditasi. Cukup lama pendekar tua itu berdiri di bawahnya. Melamun dan merenungkan sesuatu.Â
Sampai tiba-tiba terdengar suara mengagetkan itu.Â
"Haaat... haaaatsyiiii!!!"
Blug! Blug! Blug!Â