Frans. Laki-laki gagah itu masih duduk di sana, di belakang kemudi. Tapi kali ini tidak ditemani oleh seorang perempuan berwajah polos dan culun. Ada perempuan cantik dengan penampilan modis dan elegan duduk anggun di sebelahnya.
"Friska. Kau akhirnya berhasil memenangkan pertarungan ini." Liana bergumam pelan.
Pintu pagar terbuka secara otomatis. Dengan tatap masih kosong Liana menyaksikan sedan merah marun itu meluncur memasuki halaman rumah. Pintu pagar pun bergeser, kembali tertutup seperti semula.
Liana tertunduk lesu. Sebenarnya kalau mau bisa saja ia masuk ke dalam rumah besar itu dengan cara ekstrem, menerobos langsung besi-besi penghalangnya.
Tapi tidak. Kali ini Liana tidak ingin melakukannya.
***
Beberapa minggu kemudian.
Malam itu di depan cermin Liana mematut diri sembari tersenyum puas. Penampilannya kini jauh lebih sempurna dibanding beberapa bulan lalu. Ia terbatuk sedikit. Mengenang saat-saat yang telah dilalui dengan sangat berat, terutama usai peristiwa tragis itu, yang membuat wajahnya hancur dan rusak parah.
Ia kini bisa menarik napas lega. Hidung pesek dengan tulang ringsek itu telah diperbaiki oleh Dokter Liem. Hidungnya menjadi mancung---bahkan terlalu mancung untuk ukuran orang Asia. Jidatnya yang lebar diciutkan. Juga bagian pipi yang robek di sana-sini terkena pecahan kaca, kini terlihat mulus kembali. Terakhir, dagu yang bantat itu telah diubah menjadi lebih runcing dan melengkung seperti sarang lebah. Dan itu, membuat senyumnya mengembang semakin lebar.
Sempurna sudah penampilanku. Demikian ia membatin.
Setelah meraih mantel hitam yang tersampir pada sandaran kursi, ia memutuskan keluar rumah. Udara di luar sangat dingin dan berkabut. Saat yang tepat untuk berkunjung ke rumah bergaya klasik kolonial itu.