"Bangsa kucing jauh lebih tahu cara berterima kasih daripada manusia. Terutama kucing kecil yang satu ini." Rin berkata serius sembari menyodorkan seekor anak kucing bermata satu ke arahku, yang berhasil dia selamatkan dari insiden tabrak lari.Â
Aku mengangguk, mengiyakan ucapannya. Meski aku tahu tidak semua manusia berlaku demikian, bukan? Maksudku, tentang manusia yang tidak tahu berterima kasih itu.Â
Tentang manusia yang tidak tahu berterima kasih, Rin pernah mencurahkan isi hatinya kepadaku.Â
"Suatu hari aku ditelpon seorang kenalan. Ia ingin pinjam uang untuk keperluan emergency. Dan berjanji akan mengembalikan pinjaman itu paling lambat satu minggu. Karena kasihan, aku bongkar tabunganku. Tabungan yang susah payah kukumpulkan untuk biaya ujian semester anakku. Tapi kenyataannya? Sampai kini uang itu tak kunjung kembali." Rin bercerita dengan wajah murung. Dan, itu cukup bagiku untuk menebak bagaimana ending kisahnya.Â
Jika sudah begitu tugasku adalah mendekatinya, merangkul erat pundak sahabatku itu untuk sekadar memberinya semangat.Â
"Berbuat baik tidak selamanya berbalas kebaikan pula, Rin. Meski demikian kita tidak boleh berhenti hanya karena hal sepele itu, bukan?"Â
Tanpa ragu kucium lembut pipi kirinya. Rin terlihat sedikit terhibur.Â
"Oh iya, apa kabar Tuan Rahwana idolamu itu? Apakah ia masih suka datang ke dalam mimpimu?" Rin mengalihkan pembicaraan. Aku menatap Rin dengan sorot mata jenaka.Â
"Rahwana, ya? Mm---sepertinya aku sudah jatuh cinta kepadanya."
***
Malam berpeluk kabut ketika mimpi bertemu Rahwana itu datang lagi. Dan, aku tidak ingin menyia-nyiakan momen indah yang selalu kunanti-nantikan ini.Â