"Sampai detik ini aku masih meyakini, jikalau Rahwana bukanlah penjahat cinta seperti yang dikisahkan dalam kisah-kisah pewayangan. Bahkan kebalikannya. Rahwana adalah sosok lelaki yang memiliki cinta sejati, berhati lembut, pengagung dan pengagum satu perempuan."
Selalu itu yang kukatakan kepada Rin, sahabatku, setiap kali kami bertemu. Dan Rin, seperti biasa hanya diam. Tidak sepatah kata pun terlontar dari bibirnya untuk menyanggah ucapanku.Â
Itulah yang kusukai dari Rin. Dia sosok pendengar yang baik, yang selalu bersedia meluangkan waktu sesibuk apa pun untuk menemani atau sekadar mendengar ruahan perasaanku. Meski terkadang apa yang kusampaikan adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Sesuatu yang absurd.Â
Rin terlalu baik, menurutku. Atau bisa jadi Tuhanlah yang mahabaik, yang telah mengirim seseorang seperti Rin di sepenggal kehidupanku.Â
Ah, sudahlah. Aku tidak ingin membahas masalah itu. Yang pasti aku sangat bersyukur memiliki Rin. Sebab kehadirannya membuat hari-hariku penuh warna, penuh canda tawa. Aku merasa tidak sendirian dan kesepian lagi di dunia ini.Â
"Rin, tahu tidak? Rahwana itu belum mati. Aku sempat bertemu dia beberapa kali." Ujarku tiba-tiba ketika kami sedang duduk berdua menikmati jajanan "ketan kicir" di sebuah kedai kecil di pinggiran kota. Rin nyaris tersedak mendengar kata-kataku.Â
"Hei, kau percaya tidak?" Aku tertawa melihat Rin yang berusaha menyembunyikan kekagetannya.Â
"Percaya! Apa sih yang tidak kupercayai darimu?" Rin menatapku dengan mata berbinar. Dan, itu cukup membuatku merasa senang.Â
Ah, kau, Rin. Bahkan semisal aku berbohong kepadamu pun kau masih saja memercayaiku.Â
"Kau tidak bertanya di mana aku sering bertemu Rahwana pemilik cinta sejati itu, Rin?" Aku sengaja menekankan suaraku. Memberi efek serius untuk memancing reaksi Rin.Â
"Tanpa bertanya kau pasti akan menjelaskannya." Rin tersenyum manis. Aku sontak tersipu malu.Â
Rin benar. Aku---tanpa ditanya biasanya akan menjelaskan secara detail apa-apa yang telah kusampaikan kepadanya.Â
"Kami bertemu dalam mimpi, Rin. Di malam-malam tertentu." Aku menjelaskan seraya mencicipi sejumput parutan kelapa muda yang dicampur gula merah, yang membuat sajian ketan terasa gurih dan manis.Â
"Oh, pasti sangat menyenangkan!" Rin merespon kata-kataku dengan suara renyah.Â
"Ya! Sangat menyenangkan. Dan, sesuai dugaanku. Rahwana itu lelaki baik. Amat sangat baik. Selain itu---dia juga sangat tampan." Aku mengedipkan sebelah mataku.Â
"Pasti dia brewokan dan rambutnya gondrong." Rin menimpali sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa. Dasar bestie. Kriteria ketampanan seorang laki-laki yang berusaha kusembunyikan rapat-rapat di dalam otakku pun, Rin dengan mudah mengetahuinya.Â
***
Jika aku lebih banyak bercerita pada Rin tentang sosok Rahwana, Rin malah lebih suka membicarakan seputar dunia kucing.Â
Rin. Sang Ratu Kucing. Demikian aku menjulukinya. Dia terlihat begitu bangga dan bahagia saat julukan itu kusematkan kepadanya.Â
Aku senang melihat Rin tampak bahagia. Apalagi ketika ia bercerita tentang anak-anak kucing liar yang berlarian membuntutinya.
"Anabul-anabul lucu itu usai kuberi makan pasti berebut memanggilku dengan suara yang indah dan merdu."Â
Indah dan merdu? Duh, sedemikian sayangnya Rin pada makhluk-makhluk berbulu halus itu sampai-sampai suara eongan berubah menjadi nyanyian merdu begitu singgah di cuping telinganya.Â
"Bangsa kucing jauh lebih tahu cara berterima kasih daripada manusia. Terutama kucing kecil yang satu ini." Rin berkata serius sembari menyodorkan seekor anak kucing bermata satu ke arahku, yang berhasil dia selamatkan dari insiden tabrak lari.Â
Aku mengangguk, mengiyakan ucapannya. Meski aku tahu tidak semua manusia berlaku demikian, bukan? Maksudku, tentang manusia yang tidak tahu berterima kasih itu.Â
Tentang manusia yang tidak tahu berterima kasih, Rin pernah mencurahkan isi hatinya kepadaku.Â
"Suatu hari aku ditelpon seorang kenalan. Ia ingin pinjam uang untuk keperluan emergency. Dan berjanji akan mengembalikan pinjaman itu paling lambat satu minggu. Karena kasihan, aku bongkar tabunganku. Tabungan yang susah payah kukumpulkan untuk biaya ujian semester anakku. Tapi kenyataannya? Sampai kini uang itu tak kunjung kembali." Rin bercerita dengan wajah murung. Dan, itu cukup bagiku untuk menebak bagaimana ending kisahnya.Â
Jika sudah begitu tugasku adalah mendekatinya, merangkul erat pundak sahabatku itu untuk sekadar memberinya semangat.Â
"Berbuat baik tidak selamanya berbalas kebaikan pula, Rin. Meski demikian kita tidak boleh berhenti hanya karena hal sepele itu, bukan?"Â
Tanpa ragu kucium lembut pipi kirinya. Rin terlihat sedikit terhibur.Â
"Oh iya, apa kabar Tuan Rahwana idolamu itu? Apakah ia masih suka datang ke dalam mimpimu?" Rin mengalihkan pembicaraan. Aku menatap Rin dengan sorot mata jenaka.Â
"Rahwana, ya? Mm---sepertinya aku sudah jatuh cinta kepadanya."
***
Malam berpeluk kabut ketika mimpi bertemu Rahwana itu datang lagi. Dan, aku tidak ingin menyia-nyiakan momen indah yang selalu kunanti-nantikan ini.Â
Di mimpi kali ini aku ingin melihat wajah asli Rahwana sang pujaan hati.Â
Ya. Selama ini aku telah berbohong kepada Rin. Aku selalu mengatakan jikalau Rahwana itu sosok lelaki berwajah tampan, brewokan, dengan rambut gondrong sebahu yang dibiarkan tergerai.Â
Padahal cerita sesungguhnya, aku tidak pernah benar-benar melihat wajah asli Rahwana. Mimpi itu terjadi begitu cepat. Orang Jawa bilang saklerepan atau hanya sepintas lalu saja.Â
Tapi kali ini mimpi itu berdurasi lumayan panjang. Sosok lelaki dengan pakaian aneh---kain batik pendek bermotif parang rusak yang dililitkan sebatas pinggang, bertelanjang dada, berjalan sigap mendekatiku.Â
"Hai, aku Rahwana. Senang bisa bertemu denganmu lagi."Â
Ini pertama kali lelaki gagah dalam mimpi itu menegurku. Dan, itu nyaris membuatku terjengkang. Terutama saat raut wajah yang tersenyum manis itu tertangkap jelas oleh mataku.Â
Suara itu. Itu suara Rin!Â
Wajahnya juga, itu wajah Rin!Â
Dan, aku pun benar-benar terjengkang manakala lelaki yang mengaku sebagai Rahwana itu menyodorkan sesuatu ke arahku.Â
Seekor anak kucing bermata satu.Â
***
Malang, 5 Maret 2024
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H