Ya. Ningsih masih harus menimbang-nimbang. Sebab ia merasa insecure dengan jalan takdir yang dilaluinya. Selama ini ia selalu dikejar-kejar perasaan barangkali. Barangkali, ya, barangkali di antara teman-teman semasa SMU dirinyalah yang paling tidak beruntung.Â
Perasaan itu singgah setiap kali ia mengintip WAG Alumni SMU yang menyiratkan bahwa sebagian besar teman-temannya telah menjadi orang sukses.Â
Ponselnya tiba-tiba berdering. Anak sulung yang berada di luar kota menelpon. Ningsih gegas mengangkatnya.Â
Ibu dan anak pun berbincang cukup lama. Saling bertukar canda untuk melepas kangen. Sampai kemudian pembicaraan tergiring pada keraguan Ningsih menghadiri undangan reuni.Â
"Mengapa harus minder, Ma? Menyandang status single bukan berarti sesuatu yang memalukan, bukan? Ayuk, Mama siap-siap dandan yang cantik. Temui teman-teman Mama dengan perasaan hepi, ya!"
Ningsih sontak merasa terbanting oleh ucapan itu. Sesudahnya ia bergumam dalam hati. Anak sekarang. Terkadang pemikirannya jauh lebih dewasa dibanding dengan usianya.
***
Ningsih tiba di lokasi reuni paling akhir ketika ruangan kafe telah berubah menjadi ajang karaoke. Silih berganti teman-teman semasa SMU naik ke atas panggung menyumbangkan suara.Â
Di pojok ruangan Ningsih memilih kursi untuk duduk. Sejenak ia merasa asing. Tapi kemudian teringat ucapan putri sulungnya. "Temui teman-teman Mama dengan perasaan hepi, ya!"
Dan, ia benar-benar melakukannya. Ia segera menepis segala perasaan minder. Ia buang jauh-jauh apa itu insecure. Ia lantas bangkit dari duduk dan berjalan menyalami satu persatu teman-temannya yang semula tidak menyadari kehadirannya.Â
Sampai akhirnya kakinya berhenti di samping kursi di dekat panggung.Â