Lebih dua puluh tahun Ningsih berkutat dengan kehidupannya sebagai ibu tunggal. Jatuh bangun membesarkan anak-anak tanpa pendamping. Semua dijalaninya. Dan, selama itu pula ia seolah menutup diri dari lingkungan luar.Â
Kini kedua anaknya telah tumbuh dewasa, sudah punya pekerjaan mapan untuk menghidupi diri mereka sendiri. Ningsih tentu saja sangat bersyukur. Meski dia harus merelakan kedua anak kesayangannya itu tinggal di kota lain agar lebih dekat dengan pekerjaan mereka.Â
Ningsih boleh bernapas lega. Tugasnya mengantar anak-anak sebagian besar sudah berhasil ditunaikannya. Perlahan-lahan ia mulai berani membuka hati. Hati yang selama ini ia biarkan dingin dan beku. Bak segumpal salju yang tersembunyi jauh di puncak gunung.Â
Ya. Seseorang telah berhasil mencairkan gumpalan salju itu. Seorang yang ia kenal secara tidak sengaja.Â
Ketika itu dirinya sedang berada di salah panti asuhan, bertemu bocah-bocah yang kerap dikunjunginya. Di sanalah pertama kali ia melihat laki-laki itu. Laki-laki bertubuh tegap yang sedang sibuk menurunkan barang-barang dari bagasi mobil.Â
"Pak Wira datang!" Salah seorang bocah yang sedang duduk bersamanya berseru seraya menghambur ke luar ruangan. Diikuti oleh teman-temannya yang lain.Â
Ustad Kholili selaku penanggungjawab panti asuhan, sontak menatap Ningsih. "Bu Ningsih harus berkenalan dengan beliau. Pak Wira ini salah satu donatur tetap di panti asuhan ini."
Ningsih mengangguk hormat. Ia ikut berdiri ketika Ustad Kholili menyambut tamu yang baru datang itu.Â
"Assalamualaikum, Ustad. Senang bisa bertemu lagi." Pak Wira menjabat tangan Ustad Kholili. Lalu tatapannya beralih ke arah Ningsih yang mengangguk kecil.
"Waalaikum salam. Silakan duduk, Pak Wira. Oh, iya. Ini Bu Ningsih. Beliau sering bantu-bantu momong anak-anak di sini." Ustad Kholili membalas salam hangat Pak Wira.Â
Dan, semua pun mengalir bagai air. Perkenalan tidak sengaja itu pun berlanjut. Mereka---Ningsih dan Pak Wira saling bertukar nomor ponsel. Awalnya berdalih agar bisa bareng-bareng jikalau ingin bertemu anak-anak di panti asuhan.Â
Jika di kemudian hari Pak Wira mengajaknya mampir ke kafe miliknya yang terletak di tengah kota, Ningsih tidak bisa menolak, ia pun manut-manut saja.Â
Seperti senja itu. Di minggu ke sekian perkenalan mereka.
Hujan baru saja berhenti ketika keduanya duduk berhadapan menikmati dua cangkir kopi. Pak Wira yang humble sesekali menatap Ningsih yang terlihat sangat gugup.Â
"Mbak Ningsih, aku panggil Mbak saja, ya. Sudah lama ya, bergabung dengan panti asuhan itu?" Pak Wira membuka percakapan.Â
"Inggih, Pak. Cukup lama. Sekitar tiga tahun. Saya sengaja mengisi kesibukan dengan bertemu anak-anak." Â Ningsih menjawab pelan. Pak Wira mengangguk. Sesaat kemudian ia berdiri. Mengambil alih nampan yang dibawa oleh seorang pramusaji.Â
"Cemilan ringan. Dingin-dingin begini enak disantap bersama secangkir kopi." Pak Wira meletakkan nampan berisi sepiring pisang keju panggang yang masih panas. Tepat di hadapan Ningsih.Â
"Terima kasih." Ningsih menganggukkan kepala seraya berusaha menyembunyikan perasaan aneh yang akhir-akhir ini sering muncul. Perasaan yang membuat jantungnya berdentum lebih kencang setiap kali bertemu sosok bernama Wira ini.Â
Dan, perasaan itu kian membuncah ketika Pak Wira mengulurkan tangan lalu menggenggam erat jemari tangannya. Jiwa Ningsih serasa terbang. Tinggi. Jauh. Tak terkendali menembus awang-awang.Â
***
Undangan reuni dibiarkannya tergeletak di atas meja rias. Ningsih masih ragu. Ia belum berani mengambil keputusan apakah akan hadir atau tidak pada acara kumpul bareng teman-teman alumni SMU-nya, sore ini.Â
Ya. Ningsih masih harus menimbang-nimbang. Sebab ia merasa insecure dengan jalan takdir yang dilaluinya. Selama ini ia selalu dikejar-kejar perasaan barangkali. Barangkali, ya, barangkali di antara teman-teman semasa SMU dirinyalah yang paling tidak beruntung.Â
Perasaan itu singgah setiap kali ia mengintip WAG Alumni SMU yang menyiratkan bahwa sebagian besar teman-temannya telah menjadi orang sukses.Â
Ponselnya tiba-tiba berdering. Anak sulung yang berada di luar kota menelpon. Ningsih gegas mengangkatnya.Â
Ibu dan anak pun berbincang cukup lama. Saling bertukar canda untuk melepas kangen. Sampai kemudian pembicaraan tergiring pada keraguan Ningsih menghadiri undangan reuni.Â
"Mengapa harus minder, Ma? Menyandang status single bukan berarti sesuatu yang memalukan, bukan? Ayuk, Mama siap-siap dandan yang cantik. Temui teman-teman Mama dengan perasaan hepi, ya!"
Ningsih sontak merasa terbanting oleh ucapan itu. Sesudahnya ia bergumam dalam hati. Anak sekarang. Terkadang pemikirannya jauh lebih dewasa dibanding dengan usianya.
***
Ningsih tiba di lokasi reuni paling akhir ketika ruangan kafe telah berubah menjadi ajang karaoke. Silih berganti teman-teman semasa SMU naik ke atas panggung menyumbangkan suara.Â
Di pojok ruangan Ningsih memilih kursi untuk duduk. Sejenak ia merasa asing. Tapi kemudian teringat ucapan putri sulungnya. "Temui teman-teman Mama dengan perasaan hepi, ya!"
Dan, ia benar-benar melakukannya. Ia segera menepis segala perasaan minder. Ia buang jauh-jauh apa itu insecure. Ia lantas bangkit dari duduk dan berjalan menyalami satu persatu teman-temannya yang semula tidak menyadari kehadirannya.Â
Sampai akhirnya kakinya berhenti di samping kursi di dekat panggung.Â
Sosok itu! Ningsih melihatnya. Ia mengenali jaket kulit yang dikenakannya. Juga model rambut yang disisir klimis meski tampak dari samping.Â
Sosok itu tengah duduk melingkarkan lengan pada punggung seorang perempuan.Â
Sudah kepalang tanggung. Kehadiran Ningsih sudah terlihat oleh perempuan yang duduk di samping sosok itu.Â
"Ningsih! Sahabatku! Masya Allah. Berapa lama kita tidak bertemu? Ke mana saja kamu selama ini?"Â
"Rini! Apa kabar?"
Kedua sahabat lama itu pun saling berpelukan.
"Oh, iya. Kenalkan ini suamiku." Rini menoleh ke arah laki-laki yang masih duduk bersandar di kursinya.
"Mas, ini sahabatku semasa SMU yang sering kuceritakan kepadamu." Rini tampak bersemangat ketika menarik tangan suaminya. Sesaat sosok itu terkejut. Tapi kemudian ia berdiri dan mengulurkan tangan. Menyambut uluran tangan Ningsih.Â
Saat mata mereka bertemu, Ningsih menyungging senyum manis.Â
Ya. Tidak ada alasan bagi Ningsih untuk tidak tersenyum. Apalagi ia merasa Tuhan amat sangat menyayanginya.
Bagaimana tidak? Sebelum ia terperosok jauh ke dalam jerat cinta lelaki bernama Wira itu, Tuhan telah menunjukkan siapa sesungguhnya dia.Â
Selain itu, Ningsih tidak ingin menjadi duri di dalam rumah tangga sahabat lamanya sendiri. Ningsih harus segera menyudahinya.Â
Meski untuk itu ia mesti kembali membekukan hati.Â
Entah sampai kapan.Â
***
Malang, 9 Januari 2024
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H