Kiranya rasa penasaran jauh lebih mendominasi. Tanpa sadar kedua lutut kujatuhkan. Tanganku terulur. Dengan suara lembut kupanggil kucing hitam yang masih geming menatapku itu.
"Pusss ..sini, mendekatlah."
Dan, aku terkejut sekaligus senang. Kucing hitam itu---terdapat luka di lehernya! Ia tampak berjalan perlahan mendekatiku. Aku nyaris berhasil memeluknya kalau saja Martin tidak keburu datang sembari menodongkan senapannya.Â
"Martin, jangaaaan...!!!"
Dor! Dor! Dor!
Terlambat. Tiga tembakan meluncur telak mengenai kepala kucing hitam di hadapanku. Tubuhku sontak gemetar hebat. Tangisku pun pecah.
***
Martin menarik pundakku dengan kasar ketika aku berusaha meraih tubuh kucing hitam yang terkapar tak berdaya itu.
"Jangan sentuh dia!" Sergahnya marah. Setelah melempar senapan di atas ubin, ia memasukkan kucing hitam itu ke dalam kantong plastik. Diikatnya ujung kantong dengan tali rafia.
"Biarkan aku yang menguburkannya, Martin. Please..." Aku memohon.Â
Tapi Martin seolah tidak mendengarku. Ia terus saja mengikat kantong plastik itu erat-erat dan bersiap menuruni anak tangga.
"Hendak kaubawa ke mana mayat kucing itu, Martin?" Aku berlari mengejarnya.