Meski tidak mengatakan apa-apa usai mendengar vonis yang disampaikan oleh dokter, perempuan itu tahu, jikalau suaminya memendam rasa kecewa yang teramat dalam.
"Maafkan. Aku tidak bisa memberimu momongan."
Suatu hari Ellen memberanikan diri menyampaikan perihal itu kepada suaminya. Ia sudah pasrah. Ia bahkan menyarankan suaminya untuk menikah lagi dengan prempuan lain agar bisa memperoleh keturunan.
"Nyonya sungguh baik sekali. Juga tabah." Aku menyela cerita Nyonya Ellen.
"Kadang kebaikan harus dipaksakan, Nak. Agar hidup ini berjalan baik-baik saja." Nyonya Ellen tersenyum tipis, lalu melanjutkan kisahnya lagi.
Awalnya suami Nyonya Ellen tidak mengindahkan saran agar ia 'menikah lagi' itu. Namun, di suatu sore yang cerah pria itu pulang membawa kabar yang membuat hati Nyonya Ellen hancur berkeping-keping.
"Aku sebentar lagi akan punya bayi, Ellen! Ya, bayi. Dia---hamil!" Mata suaminya berbinar-binar ketika menyampaikan berita bahagia itu.
"Dia? Dia siapa? Apakah kau ...?" Â Nyonya Ellen bertanya terbata-bata.
"Ya, Ellen. Maafkan aku. Aku telah menikahi wanita itu tanpa sepengetahuanmu."
Nyonya Ellen menghentikan ceritanya sejenak. Tangannya yang kurus menggeser posisi kursi roda. Kursi itu kini menghadap ke arah jendela yang tirainya sesekali bergerak tertiup angin.
Di luar langit sedang dihiasi purnama penuh. Cahayanya berpendar terang. Aku bisa melihat lingkar cahaya itu membentuk cincin yang indah dari tempatku duduk.