Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cersil (3): Prahara Padang Bulan

15 Januari 2023   19:22 Diperbarui: 15 Januari 2023   19:35 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image https://www.disney.com.tr

Dunia tidak perlu tahu kita sedang hancur atau babak belur. Dunia cukup tahu saat kita sedang bahagia menuai mujur.

Padepokan Siur Bertuah 

"Artati, buka pintunya!"

Seruan itu sama sekali tidak dihiraukan. Ditutupnya kedua telinga rapat-rapat dengan bantal. Dan, di balik bantal itulah ia meluapkan dua perasaan yang berkecamuk.

Perasaan sedih dan benci.

Ya. Ia sedih sekaligus benci. Mengapa tadi kakinya menyelonong begitu saja keluar dapur sehingga tidak sempat menyensor adegan yang nyaris membuat jantungnya copot?

Maha Guru Ayah dan Nyai Fatimah saling berpegangan tangan. 

Hhhh. Pemandangan itu!  Sungguh, telah memporakporandakan hatinya.  

Artati mencengkeram ujung bantal kuat-kuat.

Tiada hal yang lebih memilukan kecuali mendapati cinta bertepuk sebelah tangan.

Artati menggigit bibir.

Selama ngenger di Padepokan Siur Bertuah ini, belum pernah ia mendapat perlakuan istimewa. Maha Guru Ayah orangnya jaim, sangat menjaga jarak. Jangankan menyentuh, mengajak bicara saja nyaris tidak pernah.

Tapi terhadap diri Nyai Fatimah? Baru beberapa pekan perempuan itu tinggal di padepokan ini, Maha Guru Ayah sudah berani menggenggam erat tangannya.

Bah!

"Artati!"

Seruan itu terdengar sekali lagi. Terpaksa ia melempar bantal, bangkit, lalu menyeret langkah. Digesernya daun pintu bilik dengan jengah.

"Oh, Kakak Busu. Ada apa?"

"Maha Guru Ayah memintamu menemani Nyai Fatimah berlatih ilmu pedang malam ini."

"Kenapa mesti aku? Kenapa bukan gadis bau kencur itu?"

"Maksudmu Ni Ayu? Dia sedang tidak enak badan."

Artati terdiam sejenak. Tiba-tiba ia mendapat bisikan. 

Ayolah, Artati. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Inilah saat yang tepat untuk membalas sakit hati akibat diperlakukan pilih kasih.

"Siap, Kakak Busu! Aku ambil pedangku dulu!"

***
Langit sedang dihiasi bulan purnama. Halaman padepokan yang luas tampak benderang meski tanpa nyala obor atau pendiangan.

Dua pendekar perempuan sudah berdiri tegak, saling berhadapan, siap memainkan pedang mereka masing-masing.

Maha Guru Ayah berdiri beberapa depa tidak jauh dari lingkar gelanggang. Di sampingnya berdiri Busu alias Pendekar Kulkas Dua Pintu.

Sedikit tentang Busu. Laki-laki pendiam itu pernah menimba ilmu di puncak Gunung Semeru mengikuti jejak Maha Guru Ayah. Setelah turun gunung, dengan suka rela ia membantu kakak seperguruannya mengelola Padepokan Siur Bertuah ini.

Mengenai gelarnya yang terdengar nyeleneh, yakni Pendekar Kulkas Dua Pintu, Busu tidak ingin menceritakan kepada siapa pun. Biarlah itu menjadi rahasia hidup dan pribadinya.

Tring! Tring! Tring!

Bunyi denting pedang beradu semakin sering. Tampaknya dua pendekar perempuan sudah beraksi menunjukkan kemahiran mereka masing-masing.

Maha Guru Ayah tersenyum seraya membatin. 

Dua-duanya sama gesit. Sama lincah. Di tangan mereka permainan pedang terlihat amat manis dan menawan.

Sampai tiba-tiba.

"Hiyaaaaa!!!" Bagai kesurupan Artati memainkan pedang secara serabutan. Ia menyerang membabi buta ke arah lawan berlatihnya. Agak kewalahan Nyai Fatimah menangkis serangan-serangan itu.

"Artati! Jangan ngawur menyabetkan pedangmu! Nyai Fatimah, awaaaas! Jangan lengah!" Maha Guru Ayah berseru lantang. Kedua alisnya terangkat tinggi-tinggi. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dari latihan jurus pedang kali ini.

Bet! Bet! Bet!

"Aduuuh...."

Terlambat sudah. Nyai Fatimah terhuyung seraya memegangi pundak kirinya yang terkena amukan pedang Artati.

"Stop! Hentikan!" Maha Guru Ayah terpaksa turun ke gelanggang. Tangannya sigap menahan gerakan pedang Artati.

"Apa yang kaulakukan, Artati? Kau bertindak di luar pengarahan!" Maha Guru Ayah terlihat sangat marah.

"Ampun, guru. Saya mengaku salah." Artati sontak menjatuhkan lutut di atas tanah. Pedangnya terlepas dari tangan. Napasnya terengah.

"Kakak guru! Pedang Artati mengandung racun!" Busu berseru panik. Maha Guru Ayah sontak menghambur, menghampiri tubuh Nyai Fatimah yang terkapar di luar gelanggang.

Saat mememeriksa pundak perempuan itu, Maha Guru Ayah terperangah. Luka sabetan pedang tidak saja mengeluarkan darah, tapi juga mengeluarkan busa berwarna hijau dan berbau anyir.

"Ini jenis racun sangat berbahaya, Busu! Racun Kalamenjing. Dari mana Artati mendapatkannya?"

Serta merta emosi Maha Guru Ayah tak terbendung lagi. Ia berbalik badan. Siap menghakimi Artati.

Tapi ia tidak menemukan siapa-siapa. Artati sudah menghilang. Jejaknya raib tersapu angin.

***

Dicintai memberimu kekuatan. Dan, mencintai memberimu keberanian. 

Padepokan Kandang Sapi

Ditemani secangkir kopi dan beberapa gelintir rokok tingwe, Pendekar Tua Aneh duduk berselonjor di atas tikar yang digelar di halaman padepokan. Sesekali kepalanya menengadah. Menatap bulan yang cilukba di balik awan.

Dua pendekar muda duduk bersila mengawasi gerak-gerik guru mereka. Kalau-kalau sang guru berbuat sesuatu yang mengkhawatirkan.

Ya. Sejak mengalami serangan gelap di malam itu, Pendekar Tua Aneh bertingkah semakin aneh. Kerjanya hanya duduk melamun. Tidak lagi memberi wejangan ataupun menggembleng ilmu kanuragan.

"Sampai kapan guru kita akan seperti ini?" Bisik salah satu pendekar yang tengah berjaga-jaga itu. Hatinya miris menyaksikan perubahan drastis yang dialami oleh sang guru.

"Apa perlu kita panggil tabib?" Usul pendekar satunya lagi. "Aku pernah dengar ada tabib sakti bernama Ki Katedra. Beliau sering mengobati orang-orang lara pikir seperti guru kita ini."

"Hush! Sembarangan! Ini bukan lara pikir. Guru kita hanya sedang dilanda gundah akut. Itu saja."

"Jadi tidak perlu tabib, ya?"

"Tidak perlu! Nanti juga akan sembuh sendiri kalau hatinya sudah keslimur."

"Kangmaaaas....Toloooong..!!!"

Kedua pendekar muda yang asyik berbincang-bincang sontak njenggirat kaget. Mereka spontan melentingkan tubuh ke udara. Mencari asal suara yang datang dari balik pohon.

Tapi keduanya kalah cepat. Pendekar Tua Aneh sudah lebih dulu nangkring di salah satu dahan. Seraya terkekeh ia berseru riang.

"Buahahahaha....Dinda Artati! Lama nian kita tidak bersua. Kabar apa yang kaubawa selama menyusup di Padepokan Siur Bertuah? Apakah kau berhasil menyandera hati musuh bebuyutanku itu?"

"Tidak Kangmas. Maafkan aku. Adikmu ini kalah telak. Maha Guru Ayah lebih terpikat pada...pada...arrrgh..."

Kiranya Artati mendapat luka dalam cukup parah. Ia meringis kesakitan seraya memegangi dada kirinya.

"Kurang ajar! Siapa yang berani melukaimu, Dinda?! Katakan!" Pendekar Tua Aneh sontak melompat turun. Dipapahnya tubuh Artati yang sempoyongan.

Artati terdiam. Rasa nyeri membuatnya tak mampu berkata-kata.

Tapi sebelum pingsan, perempuan bergelar Pendekar Tepi Sungai Mahakam itu masih sempat mengingat sesuatu.

Ya. Saat kabur dari Padepokan Siur Bertuah, di perbatasan Hutan Garangan sekelebat makhluk---besar dan berbulu mendaratkan satu tendangan keras. Tepat ke arah bagian kiri dadanya.

Bersambung....

***
Malang, 15 Januari 2023
Lilik Fatimah Azzahra

Cersil sebelumnya:

1. Geger Lubang Sumur 

2. Kemilau Pedang Cinta

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun