Sampai tiba-tiba.
"Hiyaaaaa!!!" Bagai kesurupan Artati memainkan pedang secara serabutan. Ia menyerang membabi buta ke arah lawan berlatihnya. Agak kewalahan Nyai Fatimah menangkis serangan-serangan itu.
"Artati! Jangan ngawur menyabetkan pedangmu! Nyai Fatimah, awaaaas! Jangan lengah!" Maha Guru Ayah berseru lantang. Kedua alisnya terangkat tinggi-tinggi. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dari latihan jurus pedang kali ini.
Bet! Bet! Bet!
"Aduuuh...."
Terlambat sudah. Nyai Fatimah terhuyung seraya memegangi pundak kirinya yang terkena amukan pedang Artati.
"Stop! Hentikan!" Maha Guru Ayah terpaksa turun ke gelanggang. Tangannya sigap menahan gerakan pedang Artati.
"Apa yang kaulakukan, Artati? Kau bertindak di luar pengarahan!" Maha Guru Ayah terlihat sangat marah.
"Ampun, guru. Saya mengaku salah." Artati sontak menjatuhkan lutut di atas tanah. Pedangnya terlepas dari tangan. Napasnya terengah.
"Kakak guru! Pedang Artati mengandung racun!" Busu berseru panik. Maha Guru Ayah sontak menghambur, menghampiri tubuh Nyai Fatimah yang terkapar di luar gelanggang.
Saat mememeriksa pundak perempuan itu, Maha Guru Ayah terperangah. Luka sabetan pedang tidak saja mengeluarkan darah, tapi juga mengeluarkan busa berwarna hijau dan berbau anyir.