"Hush! Sembarangan! Ini bukan lara pikir. Guru kita hanya sedang dilanda gundah akut. Itu saja."
"Jadi tidak perlu tabib, ya?"
"Tidak perlu! Nanti juga akan sembuh sendiri kalau hatinya sudah keslimur."
"Kangmaaaas....Toloooong..!!!"
Kedua pendekar muda yang asyik berbincang-bincang sontak njenggirat kaget. Mereka spontan melentingkan tubuh ke udara. Mencari asal suara yang datang dari balik pohon.
Tapi keduanya kalah cepat. Pendekar Tua Aneh sudah lebih dulu nangkring di salah satu dahan. Seraya terkekeh ia berseru riang.
"Buahahahaha....Dinda Artati! Lama nian kita tidak bersua. Kabar apa yang kaubawa selama menyusup di Padepokan Siur Bertuah? Apakah kau berhasil menyandera hati musuh bebuyutanku itu?"
"Tidak Kangmas. Maafkan aku. Adikmu ini kalah telak. Maha Guru Ayah lebih terpikat pada...pada...arrrgh..."
Kiranya Artati mendapat luka dalam cukup parah. Ia meringis kesakitan seraya memegangi dada kirinya.
"Kurang ajar! Siapa yang berani melukaimu, Dinda?! Katakan!" Pendekar Tua Aneh sontak melompat turun. Dipapahnya tubuh Artati yang sempoyongan.
Artati terdiam. Rasa nyeri membuatnya tak mampu berkata-kata.