Ayolah, Artati. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Inilah saat yang tepat untuk membalas sakit hati akibat diperlakukan pilih kasih.
"Siap, Kakak Busu! Aku ambil pedangku dulu!"
***
Langit sedang dihiasi bulan purnama. Halaman padepokan yang luas tampak benderang meski tanpa nyala obor atau pendiangan.
Dua pendekar perempuan sudah berdiri tegak, saling berhadapan, siap memainkan pedang mereka masing-masing.
Maha Guru Ayah berdiri beberapa depa tidak jauh dari lingkar gelanggang. Di sampingnya berdiri Busu alias Pendekar Kulkas Dua Pintu.
Sedikit tentang Busu. Laki-laki pendiam itu pernah menimba ilmu di puncak Gunung Semeru mengikuti jejak Maha Guru Ayah. Setelah turun gunung, dengan suka rela ia membantu kakak seperguruannya mengelola Padepokan Siur Bertuah ini.
Mengenai gelarnya yang terdengar nyeleneh, yakni Pendekar Kulkas Dua Pintu, Busu tidak ingin menceritakan kepada siapa pun. Biarlah itu menjadi rahasia hidup dan pribadinya.
Tring! Tring! Tring!
Bunyi denting pedang beradu semakin sering. Tampaknya dua pendekar perempuan sudah beraksi menunjukkan kemahiran mereka masing-masing.
Maha Guru Ayah tersenyum seraya membatin.Â
Dua-duanya sama gesit. Sama lincah. Di tangan mereka permainan pedang terlihat amat manis dan menawan.