Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Teluh Gantung Jodoh

10 Juni 2022   06:31 Diperbarui: 5 Agustus 2024   17:24 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jemari tangan Nyai Denik lincah menyusun kartu ceki di atas meja hingga membentuk setengah lingkaran. Bibirnya yang kering berkomat-kamit.

Dua perempuan ---ibu dan anak, duduk bersimpuh di hadapannya.

Sebelum membalikkan salah satu kartu, Nyai Denik menatap dua perempuan itu, secara bergantian. Mata tuanya sesekali menyipit dan berkejap-kejap.

"Teluh gantung jodoh!" Seru Nyai Denik tiba-tiba, membuat dua perempuan berbeda usia itu njenggirat kaget.

"Coba ingat-ingat, Sun. Siapa kira-kira yang telah kaubuat sakit hati selama ini?" Nyai Denik menajamkan tatapannya.

Perempuan yang dipanggil Sun itu terdiam sejenak. Lalu menjawab hati-hati. "Ki Lurah Marwan, Nyai. Beberapa bulan lalu setelah kematian suamiku, ia datang ke rumah. Meminta agar aku bersedia dijadikan istri kedua."

"Dan kau menolaknya?"

"Betul, Nyai."

"Kau harus datang meminta maaf kepada Ki Lurah Marwan, Sun. Jika tidak, dendamnya akan dialihkan kepada putrimu ini." Nyai Denik berkata setengah mendesis.

Sun tertegun. Lalu menoleh ke arah anak gadisnya yang duduk meringkuk di sampingnya.

Sejenak suasana hening.

Nyai Denik mengumpulkan kartu ceki yang berserakan di atas meja, memasukkannya kembali ke dalam kotak kecil berukir yang terbuat dari kayu mahoni.

"Nyai, apa tidak ada cara lain selain minta maaf? Terus terang aku enggan mengemis-ngemis di hadapan lelaki hidung belang itu." Sun memberanikan diri menatap mata Nyai Denik.

"Tentu saja ada!"

"Apa Itu, Nyai?"

"Putrimu yang cantik ini harus diruwat di danau, tepat di hari pasaran kelahirannya!"

***
Pagi itu Arum melirik kalender yang terpampang pada dinding kamar. Keningnya seketika berkerut.

Astaga, hari ini Selasa Kliwon! Hari weton kelahirannya.

Diam-diam ia berharap semoga ibunya tidak ingat saran yang telah diwejangkan oleh Nyai Denik, minggu lalu, tentang ruwatan di danau itu.

Tapi sayang Sun belumlah pikun. Perempuan paruh baya itu bahkan tidak bisa berhenti memikirkan ucapan Nyai Denik. Ia ingin segera melakukannya.

Ubarampe untuk ruwatan yang menurut Nyai Denik bisa menangkal teluh gantung jodoh itu, jauh-jauh hari telah pula disiapkannya.

Dan, di hari itu juga, ketika senja mulai tergelincir di kaki langit, Sun menghampiri Arum yang tengah sibuk merapikan lemari pakaiannya.

"Sebentar lagi kita berangkat, Nduk. Bersiap-siaplah!"

Arum tidak menyahut. Matanya yang bulat menatap jauh ke luar jendela.

"Ayo, tunggu apa lagi!" ibunya berseru sekali lagi. Kali ini terdengar lebih keras.

Mau tidak mau Arum menyudahi kesibukannya, gegas menutup lemari pakaian sembari membatin, "Apa benar aku ini terkena teluh?"

"Orang yang terkena teluh tidak menyadari jikalau dirinya berada di bawah pengaruh teluh, Nduk." Sun berkata pelan. Seolah tahu apa yang tengah dipikirkan oleh Arum, putri semata wayangnya itu.

Sejujurnya, Arum ingin membantah perkataan ibunya, juga ingin menyampaikan sesuatu. Tapi mana berani? Ia tahu ibunya sudah terlanjur menjadi pengikut setia Nyai Denik.

***
Dipandu Nyai Denik, Sun dan Arum berjalan beriringan menuju danau yang letaknya tidak terlalu jauh dari perkampungan mereka.

Image by www.pinterest.com
Image by www.pinterest.com

"Anak gadis mendekati usia tiga puluh tahun tapi belum juga dipinang seorang lelaki? Ia perlu diruwat dengan cara seperti ini!" Nyai Denik mulai meracau seraya menabur kembang setaman di atas permukaan air danau, diikuti oleh Sun.

Sementara Arum, sengaja berdiri agak menjauh dari dua perempuan berumur itu. Pikirannya mulai tidak tenang.

Dan, semakin tidak tenang ketika Nyai Denik dan Sun berjalan menghampiri, menggandeng erat kedua tangannya.

***
Arum meringkuk di pojok ruangan sebuah rumah. Kain sarung yang menyelimuti sekujur tubuhnya tidak mampu mengurangi rasa dingin yang mendera. Rahangnya tak henti bergemelutuk.

Seorang laki-laki datang menghampiri, mengulurkan segelas teh panas ke arahnya.

Dengan gemetar Arum menerima gelas pemberian laki-laki itu. Bibirnya yang pucat menyeruput sedikit isinya, lalu terbatuk.

"Kalau masih kedinginan, kau boleh berbaring di atas amben itu," laki-laki itu berkata hati-hati. Arum mengangguk kecil.

"Terima kasih sudah menolongku. Kau datang tepat pada waktunya. Entah apa yang terjadi jika aku terus mengikuti prosesi ruwatan aneh itu. Mungkin aku dan bayi dalam perutku ini bisa mati kedinginan."

Laki-laki itu --- Ki Lurah Marwan, tidak berkomentar. Ia berjalan ke arah jendela, menutup daunnya yang berderak-derak tertiup angin.


***
Malang, 10 Juni 2022
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun