Dan, di hari itu juga, ketika senja mulai tergelincir di kaki langit, Sun menghampiri Arum yang tengah sibuk merapikan lemari pakaiannya.
"Sebentar lagi kita berangkat, Nduk. Bersiap-siaplah!"
Arum tidak menyahut. Matanya yang bulat menatap jauh ke luar jendela.
"Ayo, tunggu apa lagi!" ibunya berseru sekali lagi. Kali ini terdengar lebih keras.
Mau tidak mau Arum menyudahi kesibukannya, gegas menutup lemari pakaian sembari membatin, "Apa benar aku ini terkena teluh?"
"Orang yang terkena teluh tidak menyadari jikalau dirinya berada di bawah pengaruh teluh, Nduk." Sun berkata pelan. Seolah tahu apa yang tengah dipikirkan oleh Arum, putri semata wayangnya itu.
Sejujurnya, Arum ingin membantah perkataan ibunya, juga ingin menyampaikan sesuatu. Tapi mana berani? Ia tahu ibunya sudah terlanjur menjadi pengikut setia Nyai Denik.
***
Dipandu Nyai Denik, Sun dan Arum berjalan beriringan menuju danau yang letaknya tidak terlalu jauh dari perkampungan mereka.
"Anak gadis mendekati usia tiga puluh tahun tapi belum juga dipinang seorang lelaki? Ia perlu diruwat dengan cara seperti ini!" Nyai Denik mulai meracau seraya menabur kembang setaman di atas permukaan air danau, diikuti oleh Sun.
Sementara Arum, sengaja berdiri agak menjauh dari dua perempuan berumur itu. Pikirannya mulai tidak tenang.