Sore itu Azis membawa kabar baik untuk Diman. Sontak Diman yang tengah duduk melamun di pinggir trotoar berdiri dan berucap syukur.
"Sudah bersiap-siap sana! Ini ada sedikit uang tabungan. Pakai saja dulu. Besok-besok kalau kamu sudah balik ke Jakarta --- itu kalau kamu berniat balik, Â boleh kamu kembalikan."
Ingin menangis rasanya mendengar ucapan tulus Azis. Diman sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya mampu mengulurkan kedua tangan. Memeluk erat pundak Azis. Orang baik satu-satunya yang ditemuinya di Jakarta, yang selama ini tak segan membantunya.
Usai melepas baju badut yang seharian mengurungnya, Diman gegas pulang ke gubuk di tepi bantaran sungai. Ia ingin waktu segera berlalu. Dan, esok bisa pulang kampung sehari sebelum lebaran tiba.
***
Lamat-lamat suara takbir berkumandang. Membangunkan tidur lelap lelaki muda yang beberapa jam lalu sudah sampai di kampung halaman.Â
Aroma wangi opor ayam masakan ibu membuatnya mengembangkan cuping hidung berkali-kali.
Ia meraih handuk yang tersampir pada lengan kursi. Dengan langkah agak terhuyung ia berjalan menuju kamar mandi.
Di ruang makan ia melihat Sukesi. Gadis cilik itu tampak sumringah memamerkan baju baru yang dikenakannya.
Saat berpapasan dengan ayahnya, Diman mengangguk kikuk.
Belum juga sempat masuk ke kamar mandi, terdengar suara ribut-ribut di luar rumah. Beberapa orang menggedor pintu dengan keras.
Ayah Diman berjalan tergopoh ke ruang depan. Memutar anak kunci, membuka pintu, dan kening lelaki tua itu seketika berkerut.