Azan Magrib membuat keduanya berjalan beriringan. Menuju masjid yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
***
Ubin masjid yang dingin membuat bibir Diman mengulum senyum.Â
Ya, masjid selalu mengingatkannya pada sosok ayahnya yang dulu bertugas sebagai marbot. Sosok lelaki lugu namun tegas dalam mendidik anak.
Sayangnya Diman type anak yang mbalelo. Ia merasa didikan ayahnya terlalu keras. Itulah sebab ketika lulus SMK dan tahu hendak dititipkan ke pondok pesantren milik teman dekat ayahnya, ia memilih kabur ke Jakarta.
Diman pergi meninggalkan kota kelahiran tanpa pamit. Bahkan kepada ibu dan Sukesi yang teramat sangat menyayanginya.
Diman menghilang begitu saja. Ia berangkat pagi-pagi sekali sebelum waktu Subuh. Ketika orang-orang rumah masih tertidur lelap.
Ke Jakarta hanya berbekal nekat. Setelah lontang lantung beberapa hari di jalanan, ia bertemu dengan Azis.
Azis seorang perantau juga. Ia sudah puluhan tahun menetap di ibukota.  Azis tinggal di gubuk liar di sekitar bantaran sungai. Di sanalah Diman akhirnya ikut menampung hidup.
Diman baru menyadari, betapa sulit hidup di kota besar. Apalagi ia tidak memiliki bekal keterampilan apa-apa. Untunglah Diman bersedia mengajarinya banyak hal. Termasuk menjadi pemulung dan pengamen badut.
Suara muazin menyerukan iqomah membuat Diman gegas berwudhu dan memasuki aula masjid. Ia memilih berdiri di sebelah Azis, di barisan paling belakang.
***
"Man, ada program mudik gratis. Kamu sudah kudaftarkan. Besok pagi-pagi sekali bus mudik gratis itu akan berangkat."