***
Setiba di rumah aku mengunci diri di dalam kamar. Berdiri mematung menghadap cermin. Wajahku pasti masih memerah padam bak buah tomat tersengat matahari.Â
Sungguh. Tatapan penuh curiga dan usiran pria bertubuh kurus di taman tadi seolah menamparku.
"Kau keluyuran lagi di area perumahan itu, Aura?" Suara Sam membuatku menoleh.
"Iya, Sam. Maafkan aku. Aku hanya ingin mencari angin." Aku berusaha mencari alasan.
"Dengar Aura. Kemunculanmu, meski kaulakukan di siang hari tetap saja menyebabkan orang-orang yang melihatmu ketakutan!" Sam sedikit menaikkan nada suaranya. Kedua matanya membesar.
Seperti biasa aku tak berani menatap wajah Sam berlama-lama. Apalagi saat dia sedang dikuasai amarah. Otot-otot mata Sam terlalu rapuh menahan gejolak emosional. Mata yang membesar itu, satu per satu akan terlepas.
Benarlah. Mata Sam jatuh menggelinding dan berhenti tepat di ujung kaki meja.
Sam mengeluh --- lebih tepatnya menggerutu. Tubuhnya membungkuk. Dengan gerakan sigap tangannya meraih kembali kedua bola matanya lalu memasangnya asal.
"Kuperingatkan sekali lagi, Aura. Jangan keluar rumah sembarangan!" Sam tegas mengingatkan sebelum kemudian tubuhnya yang tambun raib menembus dinding.
***