Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ken dan Matahari Kecil

24 Desember 2021   06:11 Diperbarui: 24 Desember 2021   09:09 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: www.grist.org/climate-energy/how-american-journalists-deal-with-climate-deniers/amp/

"Ken! Aku lelah menjadi matahari!" Seruku. Membuat laki-laki bernama Ken itu mengernyit dahi. Sebelum kemudian bibirnya yang manis mengukir senyum.

"Kalau lelah jadi matahari, jadi lampu taman saja." Ia menyahut ringan. Sementara matanya tak beralih, tetap tertuju pada layar laptop di hadapannya.

"Ken, aku serius!" Aku mengganggunya lagi. Ken menghentikan gerakan jemarinya sejenak, meraih tisu, lalu menatapku tak berkedip.

Sekarang aku yang tersenyum. Merasa berada di atas angin.

"Kau lebih mencintai pekerjaanmu daripada aku, Ken. Padahal saat kita menikah di hadapan penghulu dulu, kau pernah berjanji..."

"Tentu aku juga menyayangimu, Nis. Kau saja yang kurang peka." Ken berdiri, meraih pundakku. Beberapa detik kemudian ujung bibirnya yang kering singgah di dahiku yang berponi.

Cup!

Hanya itu.

***
Memiliki suami seorang penulis seperti Ken jangan harap punya kesempatan duduk berdua berlama-lama di beranda. Apalagi Ken sangat mencintai pekerjaannya lebih dari apa pun. Menulis baginya adalah bagian dari dirinya yang tak terpisahkan.

Jadi kapan kami punya waktu untuk mengobrol panjang, minum teh, atau sekadar menatap langit senja tanpa diricuhi ide-ide yang tak pernah kering di kepalanya? Hampir tak ada waktu!

Bahkan saat tidur berdampingan di ranjang pun, Ken diam-diam sering meninggalkanku. Ia memilih membuka layar laptopnya ketimbang menyibak gaun tidurku yang transparan.

Kau telah menyia-nyiakan kebersamaan kita, Ken. Suatu saat nanti kau akan menyesal.

Aku mendusin. Tanpa sadar mengutuknya dalam hati seraya memeluk guling erat-erat.

***

Ini memasuki tahun ketiga kami tinggal satu atap di sebuah hunian sederhana. Dan, kutukanku terhadap Ken --- tentang penyesalannya itu, nyatanya belum juga terbukti.

Ken masih tampak baik-baik saja. Menikmati hidupnya sebagai seorang penulis.

"Ken, jadi kapan kau punya waktu mengukir matahari kecil untukku? Paling tidak kehadirannya akan membuat hidupku lebih berwarna, tidak kesepian lagi." 

Suatu pagi, saat terbangun dari tidur aku mengucapkan kalimat bernada keluh itu seraya mengelus perutku yang masih datar.

Ken yang tengah asyik sarapan dengan tokoh-tokoh dalam novel yang belakangan mesti dirampungkannya, mendengus perlahan. "Kau merasa kesepian, Nis?"

"I-ya."

"Sejak kapan?"

"Sejak --- aih, entahlah! Aku lupa."

Dan, itu menjadi percakapan terakhir kami. Karena tiba-tiba kejadian tak terduga membuat Ken harus kularikan ke rumah sakit. Ia mengalami serangan stroke mendadak. Bibirnya tak bisa berucap sepatah kata. Separuh tubuhnya lumpuh. Tangannya tak mampu lagi menari-nari di atas tuts laptop kesayangannya.

Ken kehilangan seluruh ide yang mengalir deras di kepalanya. Ken hanya bisa terbaring di atas tempat tidur dengan kondisi lemah tak berdaya.

Sungguh. Aku menyesal telah mengutuknya sedemikian kejam. Tidak seharusnya aku membatin hal-hal buruk untuk Ken.

"Ken, bersemangatlah! Kau harus sembuh! Aku ingin tetap menjadi matahari-mu."

Tangisku pun pecah.

Laptop di atas meja menjadi saksi bisu. Betapa Ken sangat menyayangiku. Sebab manakala kucuri baca kisah dalam cerpen-cerpen, novel-novel, serta puisi-puisi gubahannya, Ken selalu tidak lupa menyertakan kalimat ini, "Aku menamakannya Matahari. Dan, aku mencintainya dengan caraku sendiri."

***

Suatu pagi kulihat Ken bersusah payah melambaikan tangan kirinya ke arahku. Sontak aku gegas mendekatinya. Kupeluk tubuh kurusnya erat-erat dengan sepenuh suka cita. "Ken, syukurlah! Kau telah mengalami banyak kemajuan."

Ken menarik wajahku kuat-kuat. Mendekatkan bibirnya yang pucat di telingaku.

"Nis, aku melihat matahari kecil tumbuh membesar di perutmu. Tolong beritahu, siapa ayah biologisnya!"

Oh, Ken. Maafkan aku....

***
Malang, 24 Desember 2021
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun