Dan, itu menjadi percakapan terakhir kami. Karena tiba-tiba kejadian tak terduga membuat Ken harus kularikan ke rumah sakit. Ia mengalami serangan stroke mendadak. Bibirnya tak bisa berucap sepatah kata. Separuh tubuhnya lumpuh. Tangannya tak mampu lagi menari-nari di atas tuts laptop kesayangannya.
Ken kehilangan seluruh ide yang mengalir deras di kepalanya. Ken hanya bisa terbaring di atas tempat tidur dengan kondisi lemah tak berdaya.
Sungguh. Aku menyesal telah mengutuknya sedemikian kejam. Tidak seharusnya aku membatin hal-hal buruk untuk Ken.
"Ken, bersemangatlah! Kau harus sembuh! Aku ingin tetap menjadi matahari-mu."
Tangisku pun pecah.
Laptop di atas meja menjadi saksi bisu. Betapa Ken sangat menyayangiku. Sebab manakala kucuri baca kisah dalam cerpen-cerpen, novel-novel, serta puisi-puisi gubahannya, Ken selalu tidak lupa menyertakan kalimat ini, "Aku menamakannya Matahari. Dan, aku mencintainya dengan caraku sendiri."
***
Suatu pagi kulihat Ken bersusah payah melambaikan tangan kirinya ke arahku. Sontak aku gegas mendekatinya. Kupeluk tubuh kurusnya erat-erat dengan sepenuh suka cita. "Ken, syukurlah! Kau telah mengalami banyak kemajuan."
Ken menarik wajahku kuat-kuat. Mendekatkan bibirnya yang pucat di telingaku.
"Nis, aku melihat matahari kecil tumbuh membesar di perutmu. Tolong beritahu, siapa ayah biologisnya!"
Oh, Ken. Maafkan aku....
***
Malang, 24 Desember 2021
Lilik Fatimah Azzahra