Malam itu orang-orang sebalai desa menjadi saksi, bahwa Mas Mantri jelas-jelas lebih memilih aku ketimbang Tari, penari tayub dari desa sebelah.
***
"Kau tidak boleh menikah dengan Mas Mantri, Mira! Tugasmu hanya membuatnya jatuh cinta. Itu saja!" Pakde Diran menggelandangku menuju area pemakaman tua itu lagi. Sampur yang melilit pinggangku ditariknya kuat-kuat.
"Jadi itu yang membuat Pakde menghasut ibunya Mas Mantri agar tidak menerimaku?" Aku menatapnya geram. Pakde Diran terkekeh.
"Lagi pula kau sudah menjadi milik Eyang Chavid, Mira. Dan, malam ini arwah leluhurku itu meminta imbalan darimu. Kau harus menyerahkan kesucianmu!"
Belum sempat aku menjawab mendadak tubuh Pakde Diran bergetar hebat. Lalu dengan ganas ia menubrukku.
"Lepaskan! Kau lelaki pembohong! Lelaki setan!" Aku berteriak sekeras mungkin.
Tapi mana ada yang mendengar teriakanku? Mayat-mayat di pekuburan tua ini tidak mungkin bisa bangun menolongku, bukan?
***
Ah, sudah lama aku ingin melakukan ini. Menghabiskan waktu dengan melukis senja yang mengintip dari jendela ruang praktik yang tak pernah kututup.
Seseorang, lelaki muda, berjalan terhuyung didampingi oleh asistenku memasuki ruangan. Gegas aku merapikan kuas-kuas yang tercecer di atas meja.
"Akhirnya kita bertemu di sini. Kita akan menari beksan lagi, bukan?" Lelaki muda itu tersenyum. Tangannya yang lembut terulur, menyerahkan selembar kain sampur ke arahku.
"Tentu. Kita akan menari setiap hari di sini. Sepuasmya. Tapi sebelum itu maukah kau kuantar ke kamarmu?" Aku membalas senyumannya. Ia menurut. Sangat menurut. Bahkan ketika aku memintanya untuk meminum obat penenang, ia sama sekali tidak menolak.