Malam itu Pakde Diran --- begitu aku memanggilnya, datang berkunjung ke rumah kami. Ia membawa seperangkat kebaya pengantin lengkap dengan kain panjang bermotif beras wutah. Juga sekantung plastik entah berisi apa.
Usai berbincang sebentar dengan Ibu, Pakde Diran memanggilku. Memintaku untuk segera memakai setelan kebaya pengantin yang sengaja dibawanya itu. Semula aku ingin menolak. Tapi sorot mata Ibu membuatku surut.
"Sudahlah Mira. Manut saja apa kata Pakdemu. Bukankah kamu ingin menjadi penari tayub terkenal?" Ibu, yang bukan Ibu kandungku itu menegaskan. Ia lantas membantu melilitkan kain panjang pada tubuhku yang sintal.
Saat memasang kancing kebaya terakhir aku menoleh ke arah Pakde Diran yang berdiri tidak jauh dari jendela. Lelaki berumur itu tersenyum lebar menatapku. Tapi senyum itu, sungguh, di mataku terlihat amat sangat mengerikan.
Instingku pun bekerja cepat. Jangan-jangan Pakde Diran tengah merencanakan sesuatu dengan mengiming-imingi ingin membantuku menaikkan pamor sebagai penari tayub.
Ah, entahlah.
"Sudah beres, Nduk? Kalau sudah, kita berangkat sekarang!" Pakde Diran membuang sisa puntung rokok di tangannya. Aku mengangguk kecil. Lalu tanpa berani menatap mata Ibu aku bertanya, "Bu, sebenarnya Mira akan dibawa ke mana sama Pakde?"
"Wis talah, Nduk, manuto wae! Jangan banyak tanya!" Ibu menjawab ketus. Sontak mulutku kembali terkunci.
Ya, lagi-lagi aku harus diam, tidak berhak membantah satu kata pun. Aku harus manut apa kata mereka --- Ibu dan Pakde Diran.Â
Bahkan ketika Pakde Diran membawaku mbrasak-mbrasak melewati semak belukar, melintasi jalan setapak yang becek dan licin, aku masih juga tak mampu menolak.
***