Minggu kemarin kami---saya dan Te Rin, sahabat saya, usai melakukan olahraga Yoga menyempatkan diri bertandang ke Petirtaan Ngawonggo. Sebuah petilasan bersejarah yang terletak di desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang.
Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 10 pagi. Perjalanan untuk sampai ke lokasi sekitar 1 jam dari pusat kota.Â
Sampai di lokasi matahari sudah cukup tinggi. Udara hari itu terasa gerah. Tapi sontak berubah sejuk begitu kami tiba di area rerumpunan bambu di mana Petirtaan Ngawonggo berada.
Dan, kami terperangah. Kami seolah dilempar kembali ke masa lalu.
Betapa tidak. Mula-mula kami disambut oleh pintu gerbang dan beberapa bangunan yang ditata rapi ala-ala arsitektur khas rumah tradisional Jawa Timur kuno. Juga deretan kursi dan meja terbuat dari belahan kayu atau bambu. Sungguh, nuansa ini mengingatkan kami pada zaman kalabendu.
Petirtaan Ngawonggo, Situs Peninggalan Kerajaan Sumedang Kamulan
Yup. Petirtaan Ngawonggo yang berada di kawasan rumpun bambu seluas 150 m2 ini memang telah ditetapkan sebagai peninggalan bersejarah zaman Kerajaan Sumedang Kamulan.
Pengesahan ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh tim sejarah Universitas Negeri Malang terhadap Prasasti Wurandungan. Yakni sebuah prasasti yang disinyalir merupakan peninggalan Empu Sindok. Dan, dari prasasti tersebut diketahui bahwa Baginda Empu Sindok pernah meresmikan Wurandungan pada tanggal 7 November 944 Masehi.
Petirtaan Ngawonggo pada zamannya adalah tempat para pendekar menempa keilmuan. Sedangkan sumber airnya digunakan untuk mensucikan diri.
Keunikan Situs Ngawonggo
Keberadaan situs Ngawonggo sudah tersiar hingga ke seluruh penjuru masyarakat. Baik di dalam kota maupun di luar kota. Tidak heran jika situs ini selalu ramai dikunjungi terutama di akhir Minggu atau hari libur.
Selain pesona alamnya yang adem ayem, Situs Ngawonggo diburu karena keunikan yang disuguhkan.
Tentang keunikan ini, saya akan membagikannya untuk Anda.
Pertama. Sebelum memasuki area situs, di depan pintu gerbang kita akan disambut dengan Tata Tertib bertuliskan seperti ini:
Yup. Dua kali kata 'sabar' diulang tulis pada papan pengumuman tersebut. Tentu itu bukan suatu kebetulan. Melainkan ada makna tersurat dan tersirat yang sengaja diselipkan.
"Sejatine urip ing dunya iki sangune mung loro. Sabar lan sabar." (Sejatinya hidup di dunia ini bekalnya hanya dua. Sabar dan sabar.)
Begitu saya mencoba menerjemahkan.
2. Para tamu wajib berpakaian sopan dan bertutur kata santun.
3. Dilarang membawa makanan dan minunan yang mengandung unsur hewani dan dalam kemasan termasuk terasi, telur, susu, petis.
4. Dilarang buang sampah sembarangan. Perokok dilarang buang puntung sembarangan (matikan sisa puntung rokok).
5. Pesan dan mengambil makanan secukupnya dan habiskan.
6. Tidak diperkenankan bertanya mengenai harga.
7. Mengutamakan tamu yang sudah reservasi (wekasan).
Berkenaan dengan poin tata tertib nomor 5 dan 6, saya tertarik untuk menelisik secara diam-diam.
Dan, hasilnya sungguh sangat menakjubkan!
Jadi begini. Pengelola Situs Ngawonggo beserta tim benar-benar menerapkan pola hidup masa lalu bagi para tamu yang berkunjung sebagai upaya melestarikan kebudayaan leluhur.
Para tamu dijamu dengan berbagai menu ala-ala tempo dulu. Khususnya makanan tradisional. Tersedia cemilan polo pendhem hasil bumi warga sekitar. Juga tersedia jajanan pasar seperti sawut, horog-horog, dan apem.
Sedang minunan pendampingnya disediakan minunan "tombohan", yakni minuman terbuat dari bahan rempah-rempah yang diracik oleh anak-anak muda yang tampak sangat terlatih dan mumpuni.
Tidak diperkenankan bertanya mengenai harga!
Yup. Ikut menikmati hidangan di area situs ini jangan berharap Anda akan menemukan transaksi jual beli. Anda harus patuh pada tata tertib yang berlaku. Ingat, jangan bertanya mengenai harga!
Jika Anda sekiranya ingin membayar makanan yang sudah disantap, Anda cukup memasukkan uang pada kotak yang telah disediakan. Besar nominalnya? Suka rela. Seberapa pun. Seiklhasnya.
Saya dan Te Rin sengaja tidak ikut mengantre makanan berat yang menggiurkan itu. Cos kami masih kenyang. Kami tadi sarapan cukup banyak. Alhasil kami memilih mengambil kue-kue tradisional saja.
Sayangnya siang itu kami cuma kebagian kue apem yang dibungkus daun nangka. Dan nganu---kue apemnya sungguh maknyus. Lumer, gurih, manisnya pas. Pokoknya yummy habis!
Suasana sakral benar-benar terasa. Air sumber Petirtaan Ngawonggo mengucur bening  Di sumber petirtaan itu saya sempatkan membasuh muka. Konon katanya, air sumber Ngawonggo bisa menjadikan wajah berseri awet muda. Ahai!
Mendung.
Penjelajahan siang itu usai sudah. Waktunya kami harus pulang. Waktunya memberi kesempatan kepada langit untuk menumpahkan sebagian air matanya.
***
Malang, 07 Desember 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H