Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Petirtaan Ngawonggo, Situs Peninggalan Empu Sindok yang Layak Dilestarikan

7 Desember 2020   10:01 Diperbarui: 8 Desember 2020   03:32 4245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pintu gerbang Petirtaan Ngawonggo. Foto dokpri

Minggu kemarin kami---saya dan Te Rin, sahabat saya, usai melakukan olahraga Yoga menyempatkan diri bertandang ke Petirtaan Ngawonggo. Sebuah petilasan bersejarah yang terletak di desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang.

Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 10 pagi. Perjalanan untuk sampai ke lokasi sekitar 1 jam dari pusat kota. 

Sampai di lokasi matahari sudah cukup tinggi. Udara hari itu terasa gerah. Tapi sontak berubah sejuk begitu kami tiba di area rerumpunan bambu di mana Petirtaan Ngawonggo berada.

Dan, kami terperangah. Kami seolah dilempar kembali ke masa lalu.

Betapa tidak. Mula-mula kami disambut oleh pintu gerbang dan beberapa bangunan yang ditata rapi ala-ala arsitektur khas rumah tradisional Jawa Timur kuno. Juga deretan kursi dan meja terbuat dari belahan kayu atau bambu. Sungguh, nuansa ini mengingatkan kami pada zaman kalabendu.

Pintu gerbang Petirtaan Ngawonggo. Foto dokpri
Pintu gerbang Petirtaan Ngawonggo. Foto dokpri

Petirtaan Ngawonggo, Situs Peninggalan Kerajaan Sumedang Kamulan

Yup. Petirtaan Ngawonggo yang berada di kawasan rumpun bambu seluas 150 m2 ini memang telah ditetapkan sebagai peninggalan bersejarah zaman Kerajaan Sumedang Kamulan.

Pengesahan ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh tim sejarah Universitas Negeri Malang terhadap Prasasti Wurandungan. Yakni sebuah prasasti yang disinyalir merupakan peninggalan Empu Sindok. Dan, dari prasasti tersebut diketahui bahwa Baginda Empu Sindok pernah meresmikan Wurandungan pada tanggal 7 November 944 Masehi.

Patung Ganesha di area Petirtaan Ngawonggo. Foto dokpri
Patung Ganesha di area Petirtaan Ngawonggo. Foto dokpri
Situs Ngawonggo sendiri bukanlah situs tunggal. Melainkan merupakan semacam kompleks Petirtaan atau bangunan sumber air yang terdiri dari enam kolam dengan ukuran dan khasiat masing masing.

Petirtaan Ngawonggo pada zamannya adalah tempat para pendekar menempa keilmuan. Sedangkan sumber airnya digunakan untuk mensucikan diri.

Keunikan Situs Ngawonggo

Keberadaan situs Ngawonggo sudah tersiar hingga ke seluruh penjuru masyarakat. Baik di dalam kota maupun di luar kota. Tidak heran jika situs ini selalu ramai dikunjungi terutama di akhir Minggu atau hari libur.

Selain pesona alamnya yang adem ayem, Situs Ngawonggo diburu karena keunikan yang disuguhkan.

Tentang keunikan ini, saya akan membagikannya untuk Anda.

Pertama. Sebelum memasuki area situs, di depan pintu gerbang kita akan disambut dengan Tata Tertib bertuliskan seperti ini:

Tata Tertib Situs Ngawonggo. Foto dokpri
Tata Tertib Situs Ngawonggo. Foto dokpri
1. Para tamu wajib bersabar tidak terburu-buru, pengertian, dan sabar.

Yup. Dua kali kata 'sabar' diulang tulis pada papan pengumuman tersebut. Tentu itu bukan suatu kebetulan. Melainkan ada makna tersurat dan tersirat yang sengaja diselipkan.

"Sejatine urip ing dunya iki sangune mung loro. Sabar lan sabar." (Sejatinya hidup di dunia ini bekalnya hanya dua. Sabar dan sabar.)

Begitu saya mencoba menerjemahkan.

2. Para tamu wajib berpakaian sopan dan bertutur kata santun.

3. Dilarang membawa makanan dan minunan yang mengandung unsur hewani dan dalam kemasan termasuk terasi, telur, susu, petis.

4. Dilarang buang sampah sembarangan. Perokok dilarang buang puntung sembarangan (matikan sisa puntung rokok).

5. Pesan dan mengambil makanan secukupnya dan habiskan.

6. Tidak diperkenankan bertanya mengenai harga.

7. Mengutamakan tamu yang sudah reservasi (wekasan).

Berkenaan dengan poin tata tertib nomor 5 dan 6, saya tertarik untuk menelisik secara diam-diam.

Dan, hasilnya sungguh sangat menakjubkan!

Jadi begini. Pengelola Situs Ngawonggo beserta tim benar-benar menerapkan pola hidup masa lalu bagi para tamu yang berkunjung sebagai upaya melestarikan kebudayaan leluhur.

Para tamu dijamu dengan berbagai menu ala-ala tempo dulu. Khususnya makanan tradisional. Tersedia cemilan polo pendhem hasil bumi warga sekitar. Juga tersedia jajanan pasar seperti sawut, horog-horog, dan apem.

Stan polo pendhem dan kue-kue tradisional. Foto dokpri
Stan polo pendhem dan kue-kue tradisional. Foto dokpri
Untuk santap siang panitia menyediakan menu tradisional berupa nasi jagung, bothok, dan sayur lodeh.

Sedang minunan pendampingnya disediakan minunan "tombohan", yakni minuman terbuat dari bahan rempah-rempah yang diracik oleh anak-anak muda yang tampak sangat terlatih dan mumpuni.

Punggawa muda situs sedang meracik minuman. Foto dokpri
Punggawa muda situs sedang meracik minuman. Foto dokpri
Dan, demi mematuhi tata tertib yang wajib ditaati, para tamu rela mengantre makanan tanpa bersuara. Demikian juga para punggawa yang sibuk melayani di dapur. Mereka bekerja dalam hening.

Tidak diperkenankan bertanya mengenai harga!

Yup. Ikut menikmati hidangan di area situs ini jangan berharap Anda akan menemukan transaksi jual beli. Anda harus patuh pada tata tertib yang berlaku. Ingat, jangan bertanya mengenai harga!

Jika Anda sekiranya ingin membayar makanan yang sudah disantap, Anda cukup memasukkan uang pada kotak yang telah disediakan. Besar nominalnya? Suka rela. Seberapa pun. Seiklhasnya.

Pengunjung antre di depan pawon. Foto dokpri
Pengunjung antre di depan pawon. Foto dokpri
Nah, benar-benar unik, bukan?

Saya dan Te Rin sengaja tidak ikut mengantre makanan berat yang menggiurkan itu. Cos kami masih kenyang. Kami tadi sarapan cukup banyak. Alhasil kami memilih mengambil kue-kue tradisional saja.

Sayangnya siang itu kami cuma kebagian kue apem yang dibungkus daun nangka. Dan nganu---kue apemnya sungguh maknyus. Lumer, gurih, manisnya pas. Pokoknya yummy habis!

Apem bungkus daun nangka. Foto dokpri
Apem bungkus daun nangka. Foto dokpri
Usai menikmati kelezatan kue apem, kami turun menuju Petirtaan Ngawonggo yang terletak di seberang sungai. Kami harus melewati jembatan terbuat dari anyaman bambu terlebih dulu.

Suasana sakral benar-benar terasa. Air sumber Petirtaan Ngawonggo mengucur bening  Di sumber petirtaan itu saya sempatkan membasuh muka. Konon katanya, air sumber Ngawonggo bisa menjadikan wajah berseri awet muda. Ahai!

Sumber air Ngawonggo. Foto dokpri
Sumber air Ngawonggo. Foto dokpri
Puas berkeliling menikmati suasana alam petirtaan, mendadak sayup-sayup terdengar alun merdu seruling dari arah atas. Kiranya salah satu anak muda punggawa situs tengah memainkannya. Lagunya terdengar sedih mendayu-dayu. Saya pun terhenyak. Menatap langit Ngawonggo sejenak. 

Mendung.

Punggawa situs sedang meniup seruling. Foto dokpri
Punggawa situs sedang meniup seruling. Foto dokpri
Saya dan Te Rin pun gegas berjalan beriringan melewati jembatan kembali. 

Penjelajahan siang itu usai sudah. Waktunya kami harus pulang. Waktunya memberi kesempatan kepada langit untuk menumpahkan sebagian air matanya.

***
Malang, 07 Desember 2020
Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun