Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja, Jalan Panjang Menuju Cinta (2)

24 November 2020   05:03 Diperbarui: 24 November 2020   05:19 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pinterest.com

Kisah Sebelumnya

----

Gadis itu berdiri anggun di depan cermin. Mematut wajahnya yang manis. Kebaya warna pink lembut membalut tubuhnya yang ramping. 

Sementara kedua orang tuanya berdiri menatapnya dengan wajah sumringah.

"Kau terlihat cantik sekali..." pujian tulus meluncur dari bibir Ibundanya. Sang Ayah mengangguk, mengiyakan, dan ikut mengembangkan senyum.

"Nanti Ibu dan Ayah ikut maju ke panggung menemani Ryanti." Gadis itu menoleh dan berjalan menghampiri kedua orang tuanya. Dengan penuh kasih dipeluknya dua pepunden yang telah membesarkan dan mengasuhnya itu.

"Siapa bilang anak orang pinggiran tidak bisa berprestasi?" Ryanti mencium pipi Ayah dan Ibunya bergantian.

"Kami bangga padamu, Nduk. Amalkan ilmu yang kau peroleh sebaik mungkin," bisik Ayahnya penuh haru. Ryanti kembali memeluk. Kali ini lebih erat. Ia sebenarnya ingin menangis. Tapi hatinya berusaha menahan.

"Ayah dan Ibu mesti bersiap-siap. Acara wisuda dimulai pukul tujuh tepat. Ryanti tidak boleh terlambat," gadis itu berkata lembut. Kedua orang tuanya mengangguk.

Sembari menunggu Ayah dan Ibunya berbenah, Ryanti membuka lebar-lebar daun jendela. Dihirupnya udara pagi dalam-dalam. Matanya yang bulat terpejam. Bibirnya yang bagus bergerak pelan. "Terima kasih, ya Allah, atas segala karuniaMu hingga hari ini."
 

***
Tepuk tangan membahana ketika gadis manis itu berjalan menuju panggung diapit oleh Ayah dan Ibunya. Mereka bertiga berdiri berjejer.

"Selamat untuk Senja Ryanti. Putri dari Bapak Rahman dan Ibu Yuni!" suara pembawa acara menggema ke seluruh ruang gedung. Ryanti tersipu. Sementara mata kedua orang tuanya berkaca-kaca. Dan mata tua itu akhirnya basah juga ketika Rektor menyematkan selempang bertuliskan Lulusan Terbaik Fakultas Mipa 2017. Suasana haru biru menyelimuti.

Usai wisuda berlangsung, ketiga hati yang tengah berbahagia itu tidak langsung pulang. Mereka mampir sejenak ke sebuah rumah makan.

"Ayah dan Ibu pesan apa?" Ryanti menunjukkan daftar menu.

"Terserah, Nduk. Apa saja," Ayahnya yang menyahut. Ryanti mengangguk. Lalu jemarinya yang lentik meraih pulpen dan kertas yang sudah tersedia, menulis pesanan makanan. Beberapa saat kemudian ia melambaikan tangan ke arah Mbak-mbak pramusaji.

Siang mulai bergulir. Udara sedikit gerah. Sebuah mobil berhenti di halaman parkir rumah makan yang sama. Dua orang turun. Perempuan sepuh dan laki-laki usia di atas empat puluhan berjalan beriringan menuju kursi yang masih kosong.

Ryanti sempat mengamati mereka. Dahinya mengernyit. Entah mengapa ia seperti tidak asing dengan wajah kedua orang itu. Terutama wajah si lelaki.

"Ada apa, Nduk?" Rahman yang secara tidak sengaja melihat perubahan pada wajah putrinya, menegur.

"Tidak ada apa-apa Ayah, hanya..." Ryanti tidak melanjutkan kalimatnya karena tahu-tahu Ayahnya berdiri dan berjalan menghampiri dua orang yang baru saja duduk itu.

"Ryan? Aku Rahman!" suara Ayahnya terdengar gembira. Selanjtnya Ryanti melihat adegan yang mengharukan. Dua lelaki dewasa saling berpelukan.
  

***

Ini senja terakhir di bulan Juli. Ryanti berusaha menyembunyikan wajahnya yang murung. Tapi Arsyad, tunangannya tidak bisa ditilapkan.

"Kenapa, Ry?" Arsyad menyentuh punggung Ryanti perlahan. "Apakah ini berkenaaan dengan tempat mengajarmu yang baru?"

"Bukan, Ar...ini tentang kisah hidupku."

"Aku siap mendengarkan, apa pun itu." Arsyad menatap Ryanti dengan mata teduh. Ia tahu, gadisnya itu tengah dilanda gundah.

"Trims, Ar," Ryanti tertunduk sejenak. Tampak jelas keraguan menyelimuti raut wajahnya.

"Ry, kau bisa mengandalkanku." Arsyad berdiri. Menyentuh pundak kekasihnya sebagai tanda ia siap memberi dukungan.

"Baiklah. Aku akan bercerita padamu. Tapi---aku tidak bisa menjamin. Setelah mendengar kisahku ini nanti, apakah kau masih tetap ingin menikah denganku atau tidak."

"Kau terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi, Ry. Kau tidak percaya kesungguhanku mencintaimu?" Arsyad kembali duduk.  Ryanti menghela napas panjang.

Lalu berkisahlah gadis itu.
 

***
Dua puluh dua tahun silam.

Tubuh yang pingsan di bilik berdinding papan itu ditemukan oleh Mbak Yun. Suara tangis bayi membuat perempuan yang telat menikah itu dicekam kebingungan. Ia harus menolong siapa dulu---Astuti atau bayinya?

Beruntung sore itu Bang Rahman datang berkunjung. Itu hari terburuk yang pernah mereka alami. Astuti harus dirawat di Rumah Sakit karena mengalami depresi. Dan bayinya, mau tidak mau Mbak Yun-lah yang harus merawatnya.

"Rawat ia baik-baik, Yun. Soal biaya biarlah menjadi tanggunganku," ucap Bang Rahman kala itu. Mbak Yun mengangguk. Ia tiba-tiba saja merasa telah menjadi seorang Ibu. Meski bayi mungil yang berada dalam pelukannya saat itu bukanlah darah dagingnya sendiri.

"Kukira ia tidak saja membutuhkanku, Bang..." Mbak Yun berbisik setengah tersipu. Bang Rahman, ia seorang lelaki dewasa. Ia segera tanggap ke mana arah pembicaraan perempuan bernama lengkap Sri Wahyuni itu.

"Baiklah, Yun, aku melamarmu hari ini juga. Besok kita segera resmi menikah," Bang Rahman tersenyum ke arah Mbak Yun. Wajah Mbak Yun semakin memerah dadu.

Dan, esoknya. Mereka benar-benar melaksanakan pernikahan atas izin dan kehendak Tuhan.

Mereka orang-orang pinggiran. Bang Rahman hanyalah seorang pekerja kasar, buruh bangunan. Ia memutuskan berhenti sebagai penjaga gudang sejak bersitegang dengan juragannya berkenaan dengan biaya pengobatan Ryan, sahabatnya yang terluka waktu itu.

Sedang Mbak Yun, tetap sebagai penjual sayur keliling. Perempuan sederhana itu selalu bangun pagi-pagi untuk kulakan di pasar. Tentu saja ia telah mempercayakan tugas menjaga Ryanti kepada saminya manakala dirinya sibuk berkeliling menjajakan dagangan dari kampung ke kampung.

Akan halnya Astuti, perempan malang itu menjadi penghuni tetap sebuah Rumah Sakit Jiwa. Peristiwa senja itu, di mana ia dipisahkan dari Ryan oleh Ibu mertuanya, membuat jiwanya sangat terguncang.

Bagaimana dengan Ryan? Menurut kabar angin, Ryan diboyong Ibunya ke luar negeri untuk menjalani pengobatan yang lebih baik. Entah di luar negeri  mana. Yang pasti kepergian diam-diam itu membuat Rahman kehilangan kontak dengan sahabatnya.

Setelah dua puluh dua tahun kehilangan jejak, Tuhan mempertemukan mereka  kembali, dua teman baik di rumah makan ketika Ryanti baru saja menjalani wisuda kelulusan.

"Jadi kedua orang tua kandungmu masih hidup, Ry?" Arsyad memotong cerita Ryanti. Gadis itu mengangguk.

"Dulu ketika masih bayi, Ibu Yuni sering mengajak aku berkunjung ke RSJ menemui Ibu. Tapi kondisi Ibu sangat memprihatinkan. Depresinya semakin berat."

Arsyad kembali berdiri. Ia menggamit pundak Ryanti.

"Ry, kita harus menemui beliau sekarang. Aku akan mengantarmu."

"Mengantar aku menemui Ibu Astuti, Ar? Kau tidak malu?"

Arsyad menggeleng.

"Ayah juga, Ry. Ayah ingin ikut pergi bersama kalian." Entah sejak kapan Ryan berdiri di situ. Di antara mereka---anak gadisnya dan calon menantunya.

Ini jalan terpanjang menuju cinta yang harus dilalui Ryan dan Astuti. Dan pertemuan keduanya sungguh sangat mengharukan.

"As, ini aku," Ryan mendekatkan bibirnya ke telinga perempuan yang sangat dicintainya itu. Perempuan yang dipisahkan darinya selama bertahun-tahun.

"As...bukalah matamu," Ryan mengecup kedua mata yang pelupuknya mengatup rapat.

Ryan nyaris menangis. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Tapi laki-laki itu tidak mau putus asa. 

Kali ini ia mendekatkan wajah tirusnya. Dikecupnya bibir pasi yang dingin itu. Lama ia memagut di sana.

Astuti terjengah. Rasa hangat menjalari sekujur tubuhnya yang selama ini berasa mati. Jiwanya yang semula hanya melayang-layang serupa kepingan awan di udara mulai meluruh. Hatinya tiba-tiba berdegp. 

Perasaan apa ini? 

Ia mendengar suara tangis bayi. Lalu tangis itu berubah menjadi celoteh. Sekejap kemudian, celoteh itu berubah menjadi tawa riang.

"As! Ini anakmu! Senja Ryanti. Ia sudah bisa berjalan!" Itu suara Mbak Yun.

"As! Lihatlah ia. Ryanti-mu! Ia memanggil-manggilmu Ibu!" Itu suara Bang Rahman. 

Silih berganti suara itu berdengung. Berputar-putar memenuhi rongga kepala Astuti.

"As! Ini aku. Ryan!" 

Deg. Bagai terjatuh dari atap langit, Astuti merasakan tubuhnya terjengkang. Perlahan ia membuka mata. Kabur. Pening. Ia mengatupkan pupil matanya kembali.

"Ibu..." 

Suara itu. Ah, ya, suara itu! Astuti terjaga. Matanya basah.

"Ryanti..." bibirnya  bergerak pelan. Matanya terbuka sedikit. Saat matanya benar-benar terbuka, ia melihat, begitu banyak cinta bertaburan di hadapannya. Ada Ryan yang memeluknya erat. Ada Ryanti yang menciuminya tiada henti. Ada Mbak Yun, Bang Rahman, dan Arsyad, calon menantunya yang berdiri menatapnya dengan penuh rasa syukur.

Ini senja terpanjang di bulan Juli. Tapi sayangnya, kisah ini harus berakhir sampai di sini.

Tamat

***

Malang, 24 November 2020

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun