"Selamat untuk Senja Ryanti. Putri dari Bapak Rahman dan Ibu Yuni!" suara pembawa acara menggema ke seluruh ruang gedung. Ryanti tersipu. Sementara mata kedua orang tuanya berkaca-kaca. Dan mata tua itu akhirnya basah juga ketika Rektor menyematkan selempang bertuliskan Lulusan Terbaik Fakultas Mipa 2017. Suasana haru biru menyelimuti.
Usai wisuda berlangsung, ketiga hati yang tengah berbahagia itu tidak langsung pulang. Mereka mampir sejenak ke sebuah rumah makan.
"Ayah dan Ibu pesan apa?" Ryanti menunjukkan daftar menu.
"Terserah, Nduk. Apa saja," Ayahnya yang menyahut. Ryanti mengangguk. Lalu jemarinya yang lentik meraih pulpen dan kertas yang sudah tersedia, menulis pesanan makanan. Beberapa saat kemudian ia melambaikan tangan ke arah Mbak-mbak pramusaji.
Siang mulai bergulir. Udara sedikit gerah. Sebuah mobil berhenti di halaman parkir rumah makan yang sama. Dua orang turun. Perempuan sepuh dan laki-laki usia di atas empat puluhan berjalan beriringan menuju kursi yang masih kosong.
Ryanti sempat mengamati mereka. Dahinya mengernyit. Entah mengapa ia seperti tidak asing dengan wajah kedua orang itu. Terutama wajah si lelaki.
"Ada apa, Nduk?" Rahman yang secara tidak sengaja melihat perubahan pada wajah putrinya, menegur.
"Tidak ada apa-apa Ayah, hanya..." Ryanti tidak melanjutkan kalimatnya karena tahu-tahu Ayahnya berdiri dan berjalan menghampiri dua orang yang baru saja duduk itu.
"Ryan? Aku Rahman!" suara Ayahnya terdengar gembira. Selanjtnya Ryanti melihat adegan yang mengharukan. Dua lelaki dewasa saling berpelukan.
 Â
***
Ini senja terakhir di bulan Juli. Ryanti berusaha menyembunyikan wajahnya yang murung. Tapi Arsyad, tunangannya tidak bisa ditilapkan.