Ratmi terbangun di tengah malam. Menatap lekat-lekat tubuh suaminya yang pulas dengan memperdengarkan irama dengkur naik turun.
Perlahan Ratmi mengelus perutnya yang membuncit. Lalu beranjak dari pembaringan menuju meja untuk mengambil segelas air minum.
Dada perempuan muda itu terasa sesak. Kepalanya berdenyut-denyut. Pening. Seandainya tidak sedang hamil tua ingin rasanya ia menelan obat penenang sebanyak-banyaknya agar bisa tidur tenang.
Mendadak suara cempreng Mak Renta siang tadi kembali terngiang.
"Awas kalau sampai besok tunggakan uang kos tidak juga dilunasi. Kamu dan suamimu---yang pengangguran itu, harus angkat kaki dari rumahku ini!"
Ratmi mengangguk.Â
Ya, hanya itu yang bisa dilakukannya. Mengangguk. Bibirnya sudah terlalu lelah untuk sekadar meminta waktu penangguhan. Menjadi semakin lelah setelah melihat sikap Ramlan, suaminya, saat menanggapi peringatan Mak Renta dengan sikap acuh.
"Mak Renta barusan mengomel panjang lebar menagih uang kontrakan."Keluh Ratmi.
"Biarkan saja. Nanti ia akan capek sendiri." Ramlan menanggapi sembari mengisap sigaret di tangannya.
"Tidak bisa begitu. Kalau ia benar-benar mengusir kita, bagaimana?" Ratmi berusaha menyembunyikan perasaan khawatirnya.
"Ya, kita pergi. Kan beres." Ramlan menengadahkan kepala, menatap langit-langit kamar.
"Pergi ke mana? Mbambung?" Ratmi mulai meninggikan nada suaranya.
Ramlan terdiam. Percakapan terhenti sampai di situ. Ratmi memilih masuk ke dalam kamar. Menghempaskan badan di atas tempat tidur sembari berkali menarik napas panjang. Duh, Gusti.
***
Siang itu Mak Renta nyaris berteriak lantang kalau saja Ramlan tidak mendahului menguak daun pintu. Lelaki muda itu menyodorkan setumpukan uang ke arahnya seraya berkata, "Uang kos sampai enam bulan ke depan."
"Waah, sudah dapat rezeki banyak rupanya." Raut muka Mak Renta seketika berubah sumringah. Ramlan tidak menyahut. Ia gegas menutup pintu kembali, membiarkan Mak Renta sibuk menghitung lembar uang di tangannya.
Sementara di dalam kamar, Ratmi masih menelungkupkan wajah. Tubuhnya terguncang.
"Sudah jangan menangis terus. Kita kan masih bisa bikin anak lagi." Ramlan berkata santai.
Serasa mau muntah Ratmi mendengar kata-kata suaminya itu.
"Masih bisa bikin anak lagi? Kau kira aku ini pabrik anak?"
"Kodrat perempuan kan memang memberi keturunan."
"Lalu setelah aku memberimu keturunan akan kaujual mereka demi memenuhi kebutuhan hidupmu? Orangtua macam apa kau ini, Kang!" Ratmi tak kuasa lagi menahan perasaannya.Â
"Aku memilih pulang ke rumah orangtuaku. Sekarang juga!" Ratmi beranjak dari duduknya. Meraih tas kecil yang tersampir di belakang pintu. Siap untuk pergi.
"Tunggu! Kau tidak boleh pergi seenaknya. Ingat perjanjian kita dengan keluarga Tuan Darmawan. Anak dalam kandunganmu itu sudah dibeli oleh mereka." Ramlan buru-buru mencegat langkah istrinya.
"Jangan menghalangiku. Bukan aku yang membuat perjanjian gila itu. Dan, ingat. Aku yang mengandung bayi ini. Maka aku berhak sepenuhnya atas dia!" Ratmi menepis tangan suaminya.Â
Perlakuan kasar Ratmi membuat Ramlan kehilangan akal. Tanpa sadar tangannya yang kekar terayun. Lalu mencekik kuat-kuat leher perempuan itu.
***
Bocah usia lima tahun itu berlari riang menuju ke arah Ibunya. Seorang perempuan berwajah pucat Di tangannya tertangkup setangkai bunga perdu yang sebagian kelopaknya berhamburan tertiup angin.
"Selamat ulang tahun, Ma. Baim sayang Mama..." Bertubi kecupan mendarat di pipi perempuan itu.
"Terima kasih, sayang. Pasti Om Warsa yang memberi tahu kalau Mama lagi ulang tahun hari ini." Perempuan itu menatap sekilas ke arah laki-laki gagah yang berdiri mengawasi keduanya.
Laki-laki itu membalas tatapan si perempuan dengan senyum hangat. Lalu mendekat sembari berkata, "Selamat menikmati kebebasanmu kembali, Ratmi. Will you marry me?"Â
Sebentuk cincin diulurkan. Siap menghiasi jari manis Ratmi yang lentik.
Ratmi terpana sejenak. Tapi kemudian wajahnya bersemu dadu.
Ah. Tak ada alasan baginya untuk menolak lamaran itu. Warsa sudah berbuat begitu banyak untuk dirinya. Salah satunya, ia bersedia merawat Ibrahim---bayi mungilnya yang kini tumbuh menjadi bocah lucu. Bayi yang membuatnya terpaksa menjadi seorang pembunuh. Siang itu. Saat lelaki jahanam bernama Ramlan berusaha mencekik lehernya kuat-kuat.
***
Malang, 13 July 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H