"Pergi ke mana? Mbambung?" Ratmi mulai meninggikan nada suaranya.
Ramlan terdiam. Percakapan terhenti sampai di situ. Ratmi memilih masuk ke dalam kamar. Menghempaskan badan di atas tempat tidur sembari berkali menarik napas panjang. Duh, Gusti.
***
Siang itu Mak Renta nyaris berteriak lantang kalau saja Ramlan tidak mendahului menguak daun pintu. Lelaki muda itu menyodorkan setumpukan uang ke arahnya seraya berkata, "Uang kos sampai enam bulan ke depan."
"Waah, sudah dapat rezeki banyak rupanya." Raut muka Mak Renta seketika berubah sumringah. Ramlan tidak menyahut. Ia gegas menutup pintu kembali, membiarkan Mak Renta sibuk menghitung lembar uang di tangannya.
Sementara di dalam kamar, Ratmi masih menelungkupkan wajah. Tubuhnya terguncang.
"Sudah jangan menangis terus. Kita kan masih bisa bikin anak lagi." Ramlan berkata santai.
Serasa mau muntah Ratmi mendengar kata-kata suaminya itu.
"Masih bisa bikin anak lagi? Kau kira aku ini pabrik anak?"
"Kodrat perempuan kan memang memberi keturunan."
"Lalu setelah aku memberimu keturunan akan kaujual mereka demi memenuhi kebutuhan hidupmu? Orangtua macam apa kau ini, Kang!" Ratmi tak kuasa lagi menahan perasaannya.Â
"Aku memilih pulang ke rumah orangtuaku. Sekarang juga!" Ratmi beranjak dari duduknya. Meraih tas kecil yang tersampir di belakang pintu. Siap untuk pergi.
"Tunggu! Kau tidak boleh pergi seenaknya. Ingat perjanjian kita dengan keluarga Tuan Darmawan. Anak dalam kandunganmu itu sudah dibeli oleh mereka." Ramlan buru-buru mencegat langkah istrinya.