Saya gegas membuka pintu ruang praktik. Mempersilakan si gadis menuju timbangan digital yang terletak di pojok ruangan.
Usai menimbang diri, saya melihat wajah di gadis berubah murung.
"Eits, kenapa?", saya menegurnya lembut.
"Berat badan kok turun drastis, ya, Bu. Hampir 5 kilo."
"Pasti sedang diet. Kan mau menikah?"
Si gadis menggeleng. Dengan tatap mata sayu, ia pun mencurahkan isi hatinya.
Baca juga : Gegara Ini, 98 Persen Persiapan Menikah Hampir Gagal, Nggak Jadi Nikah
Si gadis mengaku sedang bingung. Sebagai orang yang paham kondisi pandemi saat ini, ia dan calon suaminya menginginkan pernikahan dilaksanakan secara sederhana saja. Cukup ijab kabul. Dihadiri beberapa keluarga dan kerabat. Yang menjadi masalah, pihak orangtua tidak mau seperti itu. Mereka ingin tetap mengadakan perhelatan besar selayak orang-orang kampung jika menikahkan anak gadis mereka.
Si gadis mengaku kesulitan memberi pengertian kepada kedua orangtuanya. Nah, itu dia yang membuatnya kepikiran dan stres.
Kasus seperti ini sudah banyak dan sering terjadi. Budaya "isin yen ora diruwa-ruwa" (malu jika tidak dipestakan) masih berlaku di kalangan kita. Terutama bagi mereka yang belum pernah punya hajat.
Saya sendiri pernah mengalami. Dua kali ketika hendak mantu, selalu bersitegang dulu dengan Ibu. Ibu saya selalu bilang, "Jaka karo perawan, kudu dirame-rame. Ora ilok!" (Perjaka dan gadis harus dimeriahkan. Pamali!)